Indonesia Peringkat 7 Negara Pengutang Terbesar, Ternyata Ada Andil Swasta
Rabu, 14 Oktober 2020 - 19:20 WIB
JAKARTA - Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan pendapat kecil-menengah yang memiliki utang terbanyak. Hal ini terungkap dalam International Debt Statistics 2021 (Statistik Utang Internasional 2021) yang baru saja dikeluarkan oleh Bank Dunia .
Laporan itu menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jumlah utang luar negeri sebesar USD402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940 triliun (kurs Rp 14.775) di tahun tahun 2019. Jumlah itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki.
Banyak yang mengkhawatirkan besarnya utang luar negeri Indonesia ini. Namun, staf khusus Menteri Keuangan untuk Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menyatakan utang pemerintah masih aman dan terjaga. ( Baca juga:Nasib PT Pupuk Indonesia: Diminta Jaga Ketersediaan Pupuk, tapi Piutangnya Rp11T Belum Dibayar Pemerintah )
“Data ini adalah data utang luar negeri total, termasuk swasta. Kalau melihat dari sisi porsi utang pemerintah saja, dalam jangka panjang risiko fiskal kita masih terjaga karena beberapa alasan," ujar Masyita di Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Dia melanjutkan, porsi utang valas (29% per 31 Agustus 2020) masih terjaga sehingga risiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik (manageable).
"Kedua, profil jatuh tempo utang kita juga cukup aman dengan average time maturity atau ATM 8,6 tahun (per Augstus 2020) dari 8,4 tahun dan 8,5 tahun di tahun 2018 dan 2019. Rata-rata utang pemerintah merupakan utang jangka panjang,” ungkap Masyita.
Masyita juga menyampaikan beberapa strategi pemerintah untuk mengelola utangnya. “Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukan strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman. Selain itu, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan,” tambahnya.
Pemerintah juga tengah giat menggarap pasar domestik yang menyasar investor ritel dari rakyat Indonesia sendiri. Di antaranya dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) ritel, pengembangan instrumen dan infrastruktur pasar SBN. Itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Selain itu, kebijakan pemerintah yang tengah melakukan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk memperkecil dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 disambut positif investor global.
Masyita yakin tingkat kepercayaan investor kepada Indonesia juga masih cukup tinggi. Tak hanya investor global, investor dalam negeri juga giat untuk berinvestasi. ( Baca juga:Bikin UU Cipta Kerja, Luhut: RI Dapat Ucapan Selamat dari Bank Dunia )
"Dana pihak ketiga di sektor perbankan juga masih besar," jelasnya.
Data Bank Indonesia memperlihatkan, jumlah dana nasabah yang tersimpan di perbankan nilainya sangat besar. Hingga Agustus 2020, dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp6.228,1 triliun.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah masyarakat dengan simpanan di atas Rp5 miliar terus meningkat. Sementara untuk masyarakat dengan simpanan di bawah Rp100 juta, pertumbuhannya paling kecil dibandingkan nominal simpanan lainnya.
Laporan itu menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jumlah utang luar negeri sebesar USD402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940 triliun (kurs Rp 14.775) di tahun tahun 2019. Jumlah itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki.
Banyak yang mengkhawatirkan besarnya utang luar negeri Indonesia ini. Namun, staf khusus Menteri Keuangan untuk Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menyatakan utang pemerintah masih aman dan terjaga. ( Baca juga:Nasib PT Pupuk Indonesia: Diminta Jaga Ketersediaan Pupuk, tapi Piutangnya Rp11T Belum Dibayar Pemerintah )
“Data ini adalah data utang luar negeri total, termasuk swasta. Kalau melihat dari sisi porsi utang pemerintah saja, dalam jangka panjang risiko fiskal kita masih terjaga karena beberapa alasan," ujar Masyita di Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Dia melanjutkan, porsi utang valas (29% per 31 Agustus 2020) masih terjaga sehingga risiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik (manageable).
"Kedua, profil jatuh tempo utang kita juga cukup aman dengan average time maturity atau ATM 8,6 tahun (per Augstus 2020) dari 8,4 tahun dan 8,5 tahun di tahun 2018 dan 2019. Rata-rata utang pemerintah merupakan utang jangka panjang,” ungkap Masyita.
Masyita juga menyampaikan beberapa strategi pemerintah untuk mengelola utangnya. “Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukan strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman. Selain itu, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan,” tambahnya.
Pemerintah juga tengah giat menggarap pasar domestik yang menyasar investor ritel dari rakyat Indonesia sendiri. Di antaranya dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) ritel, pengembangan instrumen dan infrastruktur pasar SBN. Itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Selain itu, kebijakan pemerintah yang tengah melakukan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk memperkecil dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 disambut positif investor global.
Masyita yakin tingkat kepercayaan investor kepada Indonesia juga masih cukup tinggi. Tak hanya investor global, investor dalam negeri juga giat untuk berinvestasi. ( Baca juga:Bikin UU Cipta Kerja, Luhut: RI Dapat Ucapan Selamat dari Bank Dunia )
"Dana pihak ketiga di sektor perbankan juga masih besar," jelasnya.
Data Bank Indonesia memperlihatkan, jumlah dana nasabah yang tersimpan di perbankan nilainya sangat besar. Hingga Agustus 2020, dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp6.228,1 triliun.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jumlah masyarakat dengan simpanan di atas Rp5 miliar terus meningkat. Sementara untuk masyarakat dengan simpanan di bawah Rp100 juta, pertumbuhannya paling kecil dibandingkan nominal simpanan lainnya.
(uka)
tulis komentar anda