Tingkatkan Skill SDM Pasca Pandemi
Kamis, 22 Oktober 2020 - 06:01 WIB
JENEWA - Wabah virus corona (Covid-19) mengubah pasar tenaga kerja lebih cepat dibanding prediksi awal. Puluhan juta jenis pekerjaan diperkirakan bakal hilang, digantikan dengan teknologi yang serbaotomatis.
Meski demikian, bukan berarti sumber daya manusia (SDM) bakal sama sekali tidak dipakai, karena banyak posisi memerlukan ahli untuk mengoperasikannya. Karenanya, hal yang diperlukan adalah keterampilan baru alias re-skilling SDM agar sesuai dengan kebutuhan industri. (Baca: Inilah Pahala dan Keutamaan Menjaga Pandangan Mata)
Laporan terbaru Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), otomasi akan mematikan sedikitnya 85 juta pekerjaan di 15 industri dan 25 wilayah ekonomi di seluruh dunia, baik bisnis menengah ataupun besar pada 2025. Pekerjaan di bidang data entry, akuntansi, dan administrasi akan menurun menyusul berkembangnya teknologi digitalisasi dan otomasi.
Saat ini, 80% perusahaan sedang mempercepat jadwal implementasi teknologi itu. Dibandingkan tahun lalu, penciptaan lapangan pekerjaan kini melambat, sedangkan pengangguran meningkat. “Revolusi robot tidak terhindarkan, tapi prosesnya kini kian cepat menyusul adanya wabah Covid-19,” ujar Direktur Manajer WEF Saadia Zahidi dalam siaran pers yang dikutip kemarin. “Percepatan otomasi dan keterpurukan akibat Covid-19 juga memperdalam ketidaksetaraan di seluruh pasar buruh dan membalikkan capaian sebelumnya.”
Saadia menambahkan, disrupsi tersebut akan semakin mempersulit para buruh yang menerima banyak kabar buruk selama pandemi. Langkah proaktif manajemen juga mulai terhenti. Dia memperingatkan pebisnis, pemerintah, dan pekerja untuk membuat rencana bersama dalam membangun lingkungan pekerjaan yang baru. (Baca juga: Masih Pandemi, Evaluasi Siswa Diminta Kembali ke Ujian Sekolah)
Pada 2025, WEF memprediksi jumlah manusia dan mesin yang bekerja di sebuah perusahaan akan setara. Namun, tuntutan soft skill dan kreativitas akan meningkat mengingat mesin hanya akan fokus digunakan untuk mengerjakan pemrosesan data dan informasi, administrasi, dan pekerjaan manual yang bersifat repetitif.
Meski akan menyingkirkan 85 juta pegawai, otomasi juga akan menciptakan 97 juta lapangan pekerjaan baru di bidang lain. Divisi yang akan banyak dibutuhkan ialah engineering, cloud computing, dan pengembangan produk. Pekerjaan yang membutuhkan diskusi, komunikasi, dan interaksi juga terbuka bagi manusia.
“Dalam lima tahun ke depan, hampir 50% tenaga kerja membutuhkan skill baru agar dapat terserap di pasar buruh,” ungkap WEF. Saat ini, sebanyak 66% perusahaan siap melaksanakan pelatihan selama setahun. “Di masa depan perusahaan paling kompetitif ialah perusahaan yang mengembangkan skill pegawainya,” tulis WEF.
Pengayaan kemampuan tersebut memang sudah mulai terjadi sejak beberapa terakhir. Menurut WEF, fenomena melambungnya jumlah orang yang bekerja di luar latar belakang pendidikannya meningkat di Amerika Serikat (AS). Sebanyak 50% pekerjaan yang berkaitan dengan kecerdasan buatan (AI) dan data saat ini banyak diisi tenaga ahli nonteknik. (Baca juga: Tanda-Tanda Peringatan Serangan Jantung yang Jarang Diperhatikan)
Meski demikian, bukan berarti sumber daya manusia (SDM) bakal sama sekali tidak dipakai, karena banyak posisi memerlukan ahli untuk mengoperasikannya. Karenanya, hal yang diperlukan adalah keterampilan baru alias re-skilling SDM agar sesuai dengan kebutuhan industri. (Baca: Inilah Pahala dan Keutamaan Menjaga Pandangan Mata)
Laporan terbaru Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), otomasi akan mematikan sedikitnya 85 juta pekerjaan di 15 industri dan 25 wilayah ekonomi di seluruh dunia, baik bisnis menengah ataupun besar pada 2025. Pekerjaan di bidang data entry, akuntansi, dan administrasi akan menurun menyusul berkembangnya teknologi digitalisasi dan otomasi.
Saat ini, 80% perusahaan sedang mempercepat jadwal implementasi teknologi itu. Dibandingkan tahun lalu, penciptaan lapangan pekerjaan kini melambat, sedangkan pengangguran meningkat. “Revolusi robot tidak terhindarkan, tapi prosesnya kini kian cepat menyusul adanya wabah Covid-19,” ujar Direktur Manajer WEF Saadia Zahidi dalam siaran pers yang dikutip kemarin. “Percepatan otomasi dan keterpurukan akibat Covid-19 juga memperdalam ketidaksetaraan di seluruh pasar buruh dan membalikkan capaian sebelumnya.”
Saadia menambahkan, disrupsi tersebut akan semakin mempersulit para buruh yang menerima banyak kabar buruk selama pandemi. Langkah proaktif manajemen juga mulai terhenti. Dia memperingatkan pebisnis, pemerintah, dan pekerja untuk membuat rencana bersama dalam membangun lingkungan pekerjaan yang baru. (Baca juga: Masih Pandemi, Evaluasi Siswa Diminta Kembali ke Ujian Sekolah)
Pada 2025, WEF memprediksi jumlah manusia dan mesin yang bekerja di sebuah perusahaan akan setara. Namun, tuntutan soft skill dan kreativitas akan meningkat mengingat mesin hanya akan fokus digunakan untuk mengerjakan pemrosesan data dan informasi, administrasi, dan pekerjaan manual yang bersifat repetitif.
Meski akan menyingkirkan 85 juta pegawai, otomasi juga akan menciptakan 97 juta lapangan pekerjaan baru di bidang lain. Divisi yang akan banyak dibutuhkan ialah engineering, cloud computing, dan pengembangan produk. Pekerjaan yang membutuhkan diskusi, komunikasi, dan interaksi juga terbuka bagi manusia.
“Dalam lima tahun ke depan, hampir 50% tenaga kerja membutuhkan skill baru agar dapat terserap di pasar buruh,” ungkap WEF. Saat ini, sebanyak 66% perusahaan siap melaksanakan pelatihan selama setahun. “Di masa depan perusahaan paling kompetitif ialah perusahaan yang mengembangkan skill pegawainya,” tulis WEF.
Pengayaan kemampuan tersebut memang sudah mulai terjadi sejak beberapa terakhir. Menurut WEF, fenomena melambungnya jumlah orang yang bekerja di luar latar belakang pendidikannya meningkat di Amerika Serikat (AS). Sebanyak 50% pekerjaan yang berkaitan dengan kecerdasan buatan (AI) dan data saat ini banyak diisi tenaga ahli nonteknik. (Baca juga: Tanda-Tanda Peringatan Serangan Jantung yang Jarang Diperhatikan)
tulis komentar anda