Tingkatkan Skill SDM Pasca Pandemi
loading...
A
A
A
JENEWA - Wabah virus corona (Covid-19) mengubah pasar tenaga kerja lebih cepat dibanding prediksi awal. Puluhan juta jenis pekerjaan diperkirakan bakal hilang, digantikan dengan teknologi yang serbaotomatis.
Meski demikian, bukan berarti sumber daya manusia (SDM) bakal sama sekali tidak dipakai, karena banyak posisi memerlukan ahli untuk mengoperasikannya. Karenanya, hal yang diperlukan adalah keterampilan baru alias re-skilling SDM agar sesuai dengan kebutuhan industri. (Baca: Inilah Pahala dan Keutamaan Menjaga Pandangan Mata)
Laporan terbaru Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), otomasi akan mematikan sedikitnya 85 juta pekerjaan di 15 industri dan 25 wilayah ekonomi di seluruh dunia, baik bisnis menengah ataupun besar pada 2025. Pekerjaan di bidang data entry, akuntansi, dan administrasi akan menurun menyusul berkembangnya teknologi digitalisasi dan otomasi.
Saat ini, 80% perusahaan sedang mempercepat jadwal implementasi teknologi itu. Dibandingkan tahun lalu, penciptaan lapangan pekerjaan kini melambat, sedangkan pengangguran meningkat. “Revolusi robot tidak terhindarkan, tapi prosesnya kini kian cepat menyusul adanya wabah Covid-19,” ujar Direktur Manajer WEF Saadia Zahidi dalam siaran pers yang dikutip kemarin. “Percepatan otomasi dan keterpurukan akibat Covid-19 juga memperdalam ketidaksetaraan di seluruh pasar buruh dan membalikkan capaian sebelumnya.”
Saadia menambahkan, disrupsi tersebut akan semakin mempersulit para buruh yang menerima banyak kabar buruk selama pandemi. Langkah proaktif manajemen juga mulai terhenti. Dia memperingatkan pebisnis, pemerintah, dan pekerja untuk membuat rencana bersama dalam membangun lingkungan pekerjaan yang baru. (Baca juga: Masih Pandemi, Evaluasi Siswa Diminta Kembali ke Ujian Sekolah)
Pada 2025, WEF memprediksi jumlah manusia dan mesin yang bekerja di sebuah perusahaan akan setara. Namun, tuntutan soft skill dan kreativitas akan meningkat mengingat mesin hanya akan fokus digunakan untuk mengerjakan pemrosesan data dan informasi, administrasi, dan pekerjaan manual yang bersifat repetitif.
Meski akan menyingkirkan 85 juta pegawai, otomasi juga akan menciptakan 97 juta lapangan pekerjaan baru di bidang lain. Divisi yang akan banyak dibutuhkan ialah engineering, cloud computing, dan pengembangan produk. Pekerjaan yang membutuhkan diskusi, komunikasi, dan interaksi juga terbuka bagi manusia.
“Dalam lima tahun ke depan, hampir 50% tenaga kerja membutuhkan skill baru agar dapat terserap di pasar buruh,” ungkap WEF. Saat ini, sebanyak 66% perusahaan siap melaksanakan pelatihan selama setahun. “Di masa depan perusahaan paling kompetitif ialah perusahaan yang mengembangkan skill pegawainya,” tulis WEF.
Pengayaan kemampuan tersebut memang sudah mulai terjadi sejak beberapa terakhir. Menurut WEF, fenomena melambungnya jumlah orang yang bekerja di luar latar belakang pendidikannya meningkat di Amerika Serikat (AS). Sebanyak 50% pekerjaan yang berkaitan dengan kecerdasan buatan (AI) dan data saat ini banyak diisi tenaga ahli nonteknik. (Baca juga: Tanda-Tanda Peringatan Serangan Jantung yang Jarang Diperhatikan)
Otomatisasi dinilai akan menjadi kebutuhan utama dan memegang peranan besar dalam menjalankan roda bisnis perusahaan. Studi Fredy dan Osborne juga memprediksi hampir separuh karyawan di AS terancam kehilangan pekerjaan dalam 10 tahun ke depan. Negara berkembang juga akan terkena dampaknya. “Hal ini sangat mencemaskan mengingat tingkat pengangguran sarjana juga masih tinggi,” kata ahli ekonomi dari Bank Dunia, Jieun Choi.
Menurut Choi, sedikitnya 600 juta pekerjaan baru perlu dibangun dalam 10 tahun ke depan. Sebab, China dan India saja akan memiliki sekitar 500 juta calon pekerja muda pada 2030 nanti.
Senada dengan Saadia, Choi mengatakan bahwa teknologi otomasi tidak semuanya akan berdampak buruk terhadap pasar buruh. Pada dasarnya, kemajuan teknologi akan menciptakan lapangan pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya, bahkan biasanya jumlahnya lebih besar dibandingkan pekerjaan yang hilang.
“Pada zaman dulu komputer menghapus beberapa pekerjaan, tapi di sisi lain juga membuka pekerjaan baru. Hanya saja skill-nya lain. Perusahaan kini banyak membutuhkan tenaga TI (teknologi informasi),” tambahnya, “peluang seperti itu tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat dalam dua atau tiga dekade yang lalu.” (Baca juga: Tokoh KAMI Ahmad Yani Akui Hendak Diangkut Polisi)
Perubahan lanskap pekerjaan sudah berubah sejak beberapa tahun terakhir. Perusahaan seperti Google dan Apple telah mengubah bisnis musik hingga komunikasi, Amazon mengubah pasar ritel, dan Uber mengubah industri taksi. Menurut para ahli, dengan teknologi baru, perusahaan dapat meraup untung lebih besar.
“Revolusi industri 4.0 merupakan peluang bagi sektor manufaktur AS untuk mengembalikan posisi yang membutuhkan skill ke dalam ekonomi nasional,” kata pengamat industri Aaron Ahlburn dari JLL, dilansir jilrealviews.com. Dia menambahkan, AS memiliki keuntungan ketika berbicara tentang buruh yang memiliki skill tinggi.
Sebelumnya, perusahaan ritel Uniqlo Co Ltd menggantikan 90% stafnya dengan AI dan robot di seluruh pabriknya. Seperti dilansir Financial Times, induk perusahaan Uniqlo, Fast Retailing, meneken kemitraan dengan startup robot Mujin untuk menciptakan jenis robot baru. Salah satu robot yang dipesan ialah robot pemaketan. (Baca juga: NASA dan Nokia Hendak Bangun Jaringan 4G di Bulan)
Inovasi itu dinilai penting mengingat Uniqlo berencana memproses semuanya secara otomatis. Wakil Presiden Eksekutif Fast Retailing Takuya Jimbo mengatakan, inovasi pengembangan dan penggunaan robot di dalam pabrik itu penting. Pasalnya, saat ini Jepang sedang mengalami krisis sumber daya manusia (SDM).
“Kami sangat sulit mencari pekerja baru,” ujar Jimbo. “Kami sebisa mungkin harus menjadi yang terdepan dan pantang menyerah, sekalipun melalui trial and error. Pasalnya, menurut saya, perusahaan yang mampu memperbaharui model bisnisnya adalah perusahaan yang akan mampu bertahan hidup.”
Sementara itu, Direktur Jenderal International Labour Orgaization Guy Ryder mengungkapkan, saat ini terjadi dislokasi di pasar tenaga kerja dengan skala sangat besar. ILO memperkirakan, 495 juta pekerjaan hilang pada pertengahan tahun ini. Kondisi itu merupakan pukulan besar terhadap pendapatan tenaga kerja karena mengalami penurunan lebih dari 10%. (Lihat videonya: Diduga Depresi, Anggota Polisi Tewas Tembak Dada Sendiri)
"Itulah mengapa sangat penting bagi kita untuk berdiskusi tentang pekerjaan, bukan setelah keadaan darurat kesehatan, tetapi sekarang. Kita harus membangun (ekosistem pekerjaan) ke depan dari tempat yang sangat gelap,” katanya. (Muh Shamil)
Meski demikian, bukan berarti sumber daya manusia (SDM) bakal sama sekali tidak dipakai, karena banyak posisi memerlukan ahli untuk mengoperasikannya. Karenanya, hal yang diperlukan adalah keterampilan baru alias re-skilling SDM agar sesuai dengan kebutuhan industri. (Baca: Inilah Pahala dan Keutamaan Menjaga Pandangan Mata)
Laporan terbaru Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), otomasi akan mematikan sedikitnya 85 juta pekerjaan di 15 industri dan 25 wilayah ekonomi di seluruh dunia, baik bisnis menengah ataupun besar pada 2025. Pekerjaan di bidang data entry, akuntansi, dan administrasi akan menurun menyusul berkembangnya teknologi digitalisasi dan otomasi.
Saat ini, 80% perusahaan sedang mempercepat jadwal implementasi teknologi itu. Dibandingkan tahun lalu, penciptaan lapangan pekerjaan kini melambat, sedangkan pengangguran meningkat. “Revolusi robot tidak terhindarkan, tapi prosesnya kini kian cepat menyusul adanya wabah Covid-19,” ujar Direktur Manajer WEF Saadia Zahidi dalam siaran pers yang dikutip kemarin. “Percepatan otomasi dan keterpurukan akibat Covid-19 juga memperdalam ketidaksetaraan di seluruh pasar buruh dan membalikkan capaian sebelumnya.”
Saadia menambahkan, disrupsi tersebut akan semakin mempersulit para buruh yang menerima banyak kabar buruk selama pandemi. Langkah proaktif manajemen juga mulai terhenti. Dia memperingatkan pebisnis, pemerintah, dan pekerja untuk membuat rencana bersama dalam membangun lingkungan pekerjaan yang baru. (Baca juga: Masih Pandemi, Evaluasi Siswa Diminta Kembali ke Ujian Sekolah)
Pada 2025, WEF memprediksi jumlah manusia dan mesin yang bekerja di sebuah perusahaan akan setara. Namun, tuntutan soft skill dan kreativitas akan meningkat mengingat mesin hanya akan fokus digunakan untuk mengerjakan pemrosesan data dan informasi, administrasi, dan pekerjaan manual yang bersifat repetitif.
Meski akan menyingkirkan 85 juta pegawai, otomasi juga akan menciptakan 97 juta lapangan pekerjaan baru di bidang lain. Divisi yang akan banyak dibutuhkan ialah engineering, cloud computing, dan pengembangan produk. Pekerjaan yang membutuhkan diskusi, komunikasi, dan interaksi juga terbuka bagi manusia.
“Dalam lima tahun ke depan, hampir 50% tenaga kerja membutuhkan skill baru agar dapat terserap di pasar buruh,” ungkap WEF. Saat ini, sebanyak 66% perusahaan siap melaksanakan pelatihan selama setahun. “Di masa depan perusahaan paling kompetitif ialah perusahaan yang mengembangkan skill pegawainya,” tulis WEF.
Pengayaan kemampuan tersebut memang sudah mulai terjadi sejak beberapa terakhir. Menurut WEF, fenomena melambungnya jumlah orang yang bekerja di luar latar belakang pendidikannya meningkat di Amerika Serikat (AS). Sebanyak 50% pekerjaan yang berkaitan dengan kecerdasan buatan (AI) dan data saat ini banyak diisi tenaga ahli nonteknik. (Baca juga: Tanda-Tanda Peringatan Serangan Jantung yang Jarang Diperhatikan)
Otomatisasi dinilai akan menjadi kebutuhan utama dan memegang peranan besar dalam menjalankan roda bisnis perusahaan. Studi Fredy dan Osborne juga memprediksi hampir separuh karyawan di AS terancam kehilangan pekerjaan dalam 10 tahun ke depan. Negara berkembang juga akan terkena dampaknya. “Hal ini sangat mencemaskan mengingat tingkat pengangguran sarjana juga masih tinggi,” kata ahli ekonomi dari Bank Dunia, Jieun Choi.
Menurut Choi, sedikitnya 600 juta pekerjaan baru perlu dibangun dalam 10 tahun ke depan. Sebab, China dan India saja akan memiliki sekitar 500 juta calon pekerja muda pada 2030 nanti.
Senada dengan Saadia, Choi mengatakan bahwa teknologi otomasi tidak semuanya akan berdampak buruk terhadap pasar buruh. Pada dasarnya, kemajuan teknologi akan menciptakan lapangan pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya, bahkan biasanya jumlahnya lebih besar dibandingkan pekerjaan yang hilang.
“Pada zaman dulu komputer menghapus beberapa pekerjaan, tapi di sisi lain juga membuka pekerjaan baru. Hanya saja skill-nya lain. Perusahaan kini banyak membutuhkan tenaga TI (teknologi informasi),” tambahnya, “peluang seperti itu tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat dalam dua atau tiga dekade yang lalu.” (Baca juga: Tokoh KAMI Ahmad Yani Akui Hendak Diangkut Polisi)
Perubahan lanskap pekerjaan sudah berubah sejak beberapa tahun terakhir. Perusahaan seperti Google dan Apple telah mengubah bisnis musik hingga komunikasi, Amazon mengubah pasar ritel, dan Uber mengubah industri taksi. Menurut para ahli, dengan teknologi baru, perusahaan dapat meraup untung lebih besar.
“Revolusi industri 4.0 merupakan peluang bagi sektor manufaktur AS untuk mengembalikan posisi yang membutuhkan skill ke dalam ekonomi nasional,” kata pengamat industri Aaron Ahlburn dari JLL, dilansir jilrealviews.com. Dia menambahkan, AS memiliki keuntungan ketika berbicara tentang buruh yang memiliki skill tinggi.
Sebelumnya, perusahaan ritel Uniqlo Co Ltd menggantikan 90% stafnya dengan AI dan robot di seluruh pabriknya. Seperti dilansir Financial Times, induk perusahaan Uniqlo, Fast Retailing, meneken kemitraan dengan startup robot Mujin untuk menciptakan jenis robot baru. Salah satu robot yang dipesan ialah robot pemaketan. (Baca juga: NASA dan Nokia Hendak Bangun Jaringan 4G di Bulan)
Inovasi itu dinilai penting mengingat Uniqlo berencana memproses semuanya secara otomatis. Wakil Presiden Eksekutif Fast Retailing Takuya Jimbo mengatakan, inovasi pengembangan dan penggunaan robot di dalam pabrik itu penting. Pasalnya, saat ini Jepang sedang mengalami krisis sumber daya manusia (SDM).
“Kami sangat sulit mencari pekerja baru,” ujar Jimbo. “Kami sebisa mungkin harus menjadi yang terdepan dan pantang menyerah, sekalipun melalui trial and error. Pasalnya, menurut saya, perusahaan yang mampu memperbaharui model bisnisnya adalah perusahaan yang akan mampu bertahan hidup.”
Sementara itu, Direktur Jenderal International Labour Orgaization Guy Ryder mengungkapkan, saat ini terjadi dislokasi di pasar tenaga kerja dengan skala sangat besar. ILO memperkirakan, 495 juta pekerjaan hilang pada pertengahan tahun ini. Kondisi itu merupakan pukulan besar terhadap pendapatan tenaga kerja karena mengalami penurunan lebih dari 10%. (Lihat videonya: Diduga Depresi, Anggota Polisi Tewas Tembak Dada Sendiri)
"Itulah mengapa sangat penting bagi kita untuk berdiskusi tentang pekerjaan, bukan setelah keadaan darurat kesehatan, tetapi sekarang. Kita harus membangun (ekosistem pekerjaan) ke depan dari tempat yang sangat gelap,” katanya. (Muh Shamil)
(ysw)