Maskapai Butuh Strategi Cerdas
Kamis, 19 November 2020 - 06:13 WIB
Bagi Fajar, sangat lumrah jika maskapai menerapkan strategi cerdas tersebut. Selain ketidakpastian dari penanganan pandemi, realisasi stimulus sektor transportasi yang diberikan untuk mendorong pemulihan ekonomi ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Di sektor transportasi dalam negeri, dia menilai pemerintah akan lebih menyelamatkan maskapai pelat merah seperti Garuda Indonesia meskipun realisasinya belum ada dan baru akan dikebut dalam dua bulan ini. Sebagai solusinya, Fajar menilai pemerintah lebih baik membuka kesempatan bagi maskapai untuk saling berkompetisi dalam meraih pasar. (Baca juga: Bali Destinasi Bulan madu Terbaik di Dunia)
Secara khusus, Kementerian Perhubungan harus memastikan juga tidak ada adanya predatory pricing atau monopoli usaha dalam persaingan harga tiket. Kendati demikian, dirinya belum bisa memprediksi apakah strategi penawaran tiket murah dan promo lainnya mampu mengangkat kinerja keuangan maskapai. Sebab, kondisi pasar saat ini lebih banyak pada penawaran (supply) ketimbang permintaan (demand).
Ketua Umum Indonesia National Air Carrriers Association (INACA) Denon B Prawiraatmadja menilai langkah sejumlah maskapai di tengah pandemi saat ini adalah cara terbaik menyiasati situasi yang sulit. “Kalau dibilang tepat, saya pikir apapun yang dilakukan ketika demand menurun tentu sulit kembali dalam waktu singkat ke (kondisi) 2019 dan 2018. Tapi ini cara terbaik untuk membenahi cash flow masing-masing maskapai,” terangnya.
Dengan cara ini pula maka produktivitas maskapai bertambah, load factor meningkat, dan pergerakan pesawat terus menanjak. Maskapai dalam negeri pun ramai-ramai melakukan promo tiket. Misalnya, AirAsia Indonesia menjual paket tiket Rp1,5 juta. Penumpang bisa terbang berkali-kali sepanjang November 2020 hingga Mei 2021.
Lalu, Sriwijaya dan Nam Air menjual tiket Rp170.000. Melalui program Weekend Octobest Special 10.10, Garuda Indonesia juga memberikan potongan harga tiket hingga 45% di sejumlah rute. Promo selama empat hari itu berlaku untuk penerbangan pada 9 Oktober 2020 hingga 30 Juni 2021. (Baca juga: Putusan MK Jadi Penentu Asa Depan KPK)
Dia mengungkapkan, animo masyarakat untuk bepergian dengan pesawat kembali tumbuh sejak pemerintah menyubsidi passenger service charge (PSC). Mereka kembali percaya setelah melihat pengelola bandara dan maskapai menerapkan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat.“Yang pasti September, Oktober, dan mudah-mudah November, jumlah penumpangnya mencapai 2,5 juta per bulan,” ujarnya.
Dia memaparkan, maskapai pun telah menjajaki kerja sama dengan pengelola hotel-hotel. Mereka biasanya bekerja sama menjual tiket pesawat dan hotel secara langsung. Dengan sistem ini, masyarakat tidak perlu repot-repot lagi memesan tiket pesawat dan hotel secara terpisah. Segala cara dilakukan untuk menghidupkan kembali bisnis ini dan bisa mempekerjakan kembali banyak orang.
Denon mengungkapkan INACA sedang menyusun proyeksi pertumbuhan penumpang pasca pandemi ini. “Ini sebagai white paper dan akan menjadi acuan seberapa cepat kita akan recovery seperti tahun 2019. Untuk sementara, 2023 baru bisa kembali seperti 2019 dengan jumlah penumpang 90 juta per tahun,” kata dia.
Untuk menyiasati kondisi pandemi ini, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengaku pihaknya mengusung beberapa strategi seperti memberikan harga murah dengan tetap batas kewajaran. (Baca juga: Ekonomi Dunia Berangsur Membaik, Investasi Lari ke Negara Berkembang)
Di sektor transportasi dalam negeri, dia menilai pemerintah akan lebih menyelamatkan maskapai pelat merah seperti Garuda Indonesia meskipun realisasinya belum ada dan baru akan dikebut dalam dua bulan ini. Sebagai solusinya, Fajar menilai pemerintah lebih baik membuka kesempatan bagi maskapai untuk saling berkompetisi dalam meraih pasar. (Baca juga: Bali Destinasi Bulan madu Terbaik di Dunia)
Secara khusus, Kementerian Perhubungan harus memastikan juga tidak ada adanya predatory pricing atau monopoli usaha dalam persaingan harga tiket. Kendati demikian, dirinya belum bisa memprediksi apakah strategi penawaran tiket murah dan promo lainnya mampu mengangkat kinerja keuangan maskapai. Sebab, kondisi pasar saat ini lebih banyak pada penawaran (supply) ketimbang permintaan (demand).
Ketua Umum Indonesia National Air Carrriers Association (INACA) Denon B Prawiraatmadja menilai langkah sejumlah maskapai di tengah pandemi saat ini adalah cara terbaik menyiasati situasi yang sulit. “Kalau dibilang tepat, saya pikir apapun yang dilakukan ketika demand menurun tentu sulit kembali dalam waktu singkat ke (kondisi) 2019 dan 2018. Tapi ini cara terbaik untuk membenahi cash flow masing-masing maskapai,” terangnya.
Dengan cara ini pula maka produktivitas maskapai bertambah, load factor meningkat, dan pergerakan pesawat terus menanjak. Maskapai dalam negeri pun ramai-ramai melakukan promo tiket. Misalnya, AirAsia Indonesia menjual paket tiket Rp1,5 juta. Penumpang bisa terbang berkali-kali sepanjang November 2020 hingga Mei 2021.
Lalu, Sriwijaya dan Nam Air menjual tiket Rp170.000. Melalui program Weekend Octobest Special 10.10, Garuda Indonesia juga memberikan potongan harga tiket hingga 45% di sejumlah rute. Promo selama empat hari itu berlaku untuk penerbangan pada 9 Oktober 2020 hingga 30 Juni 2021. (Baca juga: Putusan MK Jadi Penentu Asa Depan KPK)
Dia mengungkapkan, animo masyarakat untuk bepergian dengan pesawat kembali tumbuh sejak pemerintah menyubsidi passenger service charge (PSC). Mereka kembali percaya setelah melihat pengelola bandara dan maskapai menerapkan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat.“Yang pasti September, Oktober, dan mudah-mudah November, jumlah penumpangnya mencapai 2,5 juta per bulan,” ujarnya.
Dia memaparkan, maskapai pun telah menjajaki kerja sama dengan pengelola hotel-hotel. Mereka biasanya bekerja sama menjual tiket pesawat dan hotel secara langsung. Dengan sistem ini, masyarakat tidak perlu repot-repot lagi memesan tiket pesawat dan hotel secara terpisah. Segala cara dilakukan untuk menghidupkan kembali bisnis ini dan bisa mempekerjakan kembali banyak orang.
Denon mengungkapkan INACA sedang menyusun proyeksi pertumbuhan penumpang pasca pandemi ini. “Ini sebagai white paper dan akan menjadi acuan seberapa cepat kita akan recovery seperti tahun 2019. Untuk sementara, 2023 baru bisa kembali seperti 2019 dengan jumlah penumpang 90 juta per tahun,” kata dia.
Untuk menyiasati kondisi pandemi ini, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengaku pihaknya mengusung beberapa strategi seperti memberikan harga murah dengan tetap batas kewajaran. (Baca juga: Ekonomi Dunia Berangsur Membaik, Investasi Lari ke Negara Berkembang)
tulis komentar anda