Ironis, Petani Sawit Subsidi Industri Biodiesel
Sabtu, 05 Desember 2020 - 20:29 WIB
(Baca juga:Dapat Insentif, China Pilih Impor Minyak Sawit dari Malaysia Ketimbang Indonesia?)
Dari mekanisme harga di atas, jelas bahwa seluruh beban pungutan ditanggung oleh produsen TBS, termasuk petani kecil yang memproduksi 43% dari total TBS nasional. Di mana 43% produksi CPO berasal dari petani kecil.
Oleh karena itu, kata Maruli, PE dan pungutan lainnya, sama sekali tidak membebani eksportir CPO maupun pedagang. Pihak yang diuntungkan oleh adanya berbagai pungutan atas CPO adalah industri hilir seperti refinery yang menghasilkan olein dan produk lainnya.
Pihaknya lainnya yang mendulang keuntungan adalah produsen produk akhir seperti minyak goreng karena harga beli CPO jauh lebih rendah dibanding harga CPO dunia. Sementara harga jual mereka berdasarkan harga CPO dunia.
“Padahal harga bahan bakunya adalah harga CPO lokal. Beda harga sejumlah pungutan-pungutan atas CPO langsung menambah laba sebagai extra profit,” papar Maruli.
Kebijakan itu, kata Maruli, sangat tidak layak karena dana PE tersebut digunakan untuk memberikan subsidi industri biodiesel. “Apakah pantas petani kecil kelapa sawit kita yang notabene miskin, mensubsidi pengguna biosolar yang orang-orang kaya pemilik mobil-mobil bermesin diesel?,” kata mantan Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari, Tbk ini.
Maruli mengungkapkan, uang triliunan rupiah yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sejatinya berasal dari TBS milik petani sekitar 43% dan 57% TBS perkebunan besar milik BUMN dan swasta. Sementara dana tersebut selama ini disalurkan ke PT Pertamina untuk membayar industri-industri raksasa produsen biodiesel.
“Pungutan dana kelapa sawit untuk subsidi biosolar telah memperkaya industri besar dengan memiskinkan petani kecil. Memiskinkan petani kecil yang sudah miskin,” tegas Maruli.
Dari mekanisme harga di atas, jelas bahwa seluruh beban pungutan ditanggung oleh produsen TBS, termasuk petani kecil yang memproduksi 43% dari total TBS nasional. Di mana 43% produksi CPO berasal dari petani kecil.
Oleh karena itu, kata Maruli, PE dan pungutan lainnya, sama sekali tidak membebani eksportir CPO maupun pedagang. Pihak yang diuntungkan oleh adanya berbagai pungutan atas CPO adalah industri hilir seperti refinery yang menghasilkan olein dan produk lainnya.
Pihaknya lainnya yang mendulang keuntungan adalah produsen produk akhir seperti minyak goreng karena harga beli CPO jauh lebih rendah dibanding harga CPO dunia. Sementara harga jual mereka berdasarkan harga CPO dunia.
“Padahal harga bahan bakunya adalah harga CPO lokal. Beda harga sejumlah pungutan-pungutan atas CPO langsung menambah laba sebagai extra profit,” papar Maruli.
Kebijakan itu, kata Maruli, sangat tidak layak karena dana PE tersebut digunakan untuk memberikan subsidi industri biodiesel. “Apakah pantas petani kecil kelapa sawit kita yang notabene miskin, mensubsidi pengguna biosolar yang orang-orang kaya pemilik mobil-mobil bermesin diesel?,” kata mantan Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari, Tbk ini.
Maruli mengungkapkan, uang triliunan rupiah yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sejatinya berasal dari TBS milik petani sekitar 43% dan 57% TBS perkebunan besar milik BUMN dan swasta. Sementara dana tersebut selama ini disalurkan ke PT Pertamina untuk membayar industri-industri raksasa produsen biodiesel.
“Pungutan dana kelapa sawit untuk subsidi biosolar telah memperkaya industri besar dengan memiskinkan petani kecil. Memiskinkan petani kecil yang sudah miskin,” tegas Maruli.
(dar)
Lihat Juga :
tulis komentar anda