Taipan Batubara Disebut Muluskan Jalan Pengesahan UU Minerba
Rabu, 13 Mei 2020 - 23:03 WIB
JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai pengesahan RUU Minerba oleh DPR dan pemerintah dianggap hanya mengungtungkan oligarki dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Hindun Mulaika menegaskan, bahwa ada dorongan begitu kuat yang mendasari disahkannya RUU Minerba ini. Menurutnya ada pengaruh besar dari taipan batubara dalam mempengaruhi pengambilan keputusan.
( )
Salah satunya yakni terkait dengan kepastian perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dalam revisi teranyar mendapat jaminan perpanjangan. Pasalnya, para PKP2B yang akan habis masa kontraknya ini membutuhkan kepastian izin pengelolaan batubara, mengingat beberapa dari mereka memiliki hutang jatuh tempo.
"Nah ini menjadi risiko sendiri kalau dia tidak punya refinancing plan. Konsen utama dari kreditor yakni terkait dengan kepastian izin, kalau perusahaan tambang ini tidak berisiko besar," ujar dia dalam konferensi pers Bersihkan Indonesia Menyikapi Pengesahan RUU Minerba, di Jakarta Rabu (13/5/2020).
Senada, Peneliti Yayasan Auriga Nusantara, Iqbal Damanik mengatakan jika pengesahan RUU Minerba yang terkesan terburu-buru tersebut hanya memberikan jaminan dan memfasilitasi perlindungan bagi taipan batu bara. Selain itu, penambahan dalam pasal 169 juga mencerminkan sikap pemerintah dan DPR yang hanya mengutamakan kepentingan investor bukan rakyat.
"Kenapa pengesahan RUU Minerba ini tergesa-gesa karena memang ada kebutuhan menolong ada membailout. Ada beberapa penambahan pasal 169 bahwa mereka dijamin perpanjangannya," kata dia.
Berdasarkan laporan Koalisasi Masyarakat Bersihkan Indoenesia terdapat tujuh taipan besar pemegang PKP2B yang yang diduga memuluskan jalan pengesahan RUU Minerba menjadi undang-undang. Pasalnya ketujuh perusahaan tersebut akan habis izinnya dalam kurun waktu 2020-2023.
Adapun ada pemegang PKP2B generasi I yang kontraknya mau habis di antaranya PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).
( )
Salah satunya yakni terkait dengan kepastian perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dalam revisi teranyar mendapat jaminan perpanjangan. Pasalnya, para PKP2B yang akan habis masa kontraknya ini membutuhkan kepastian izin pengelolaan batubara, mengingat beberapa dari mereka memiliki hutang jatuh tempo.
"Nah ini menjadi risiko sendiri kalau dia tidak punya refinancing plan. Konsen utama dari kreditor yakni terkait dengan kepastian izin, kalau perusahaan tambang ini tidak berisiko besar," ujar dia dalam konferensi pers Bersihkan Indonesia Menyikapi Pengesahan RUU Minerba, di Jakarta Rabu (13/5/2020).
Senada, Peneliti Yayasan Auriga Nusantara, Iqbal Damanik mengatakan jika pengesahan RUU Minerba yang terkesan terburu-buru tersebut hanya memberikan jaminan dan memfasilitasi perlindungan bagi taipan batu bara. Selain itu, penambahan dalam pasal 169 juga mencerminkan sikap pemerintah dan DPR yang hanya mengutamakan kepentingan investor bukan rakyat.
"Kenapa pengesahan RUU Minerba ini tergesa-gesa karena memang ada kebutuhan menolong ada membailout. Ada beberapa penambahan pasal 169 bahwa mereka dijamin perpanjangannya," kata dia.
Berdasarkan laporan Koalisasi Masyarakat Bersihkan Indoenesia terdapat tujuh taipan besar pemegang PKP2B yang yang diduga memuluskan jalan pengesahan RUU Minerba menjadi undang-undang. Pasalnya ketujuh perusahaan tersebut akan habis izinnya dalam kurun waktu 2020-2023.
Adapun ada pemegang PKP2B generasi I yang kontraknya mau habis di antaranya PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda