Menunggu Bunga Kredit Turun ke Level 5%

Selasa, 09 Februari 2021 - 06:06 WIB
Kebijakan Bank Indonesia (BI) memangkasbungaacuan memang akan memberikan kabar positif bagi dunia usaha. Jahen menilai, terlebih lagi ditengah pandemi seperti sekarang ini. Dunia usaha membutuhkan adanya dorongan daribungapinjamn yang rendah, dunia usaha juga masih kewalahan untuk tumbuh karena Covid-19 telah merusak sendi-sendi perekonomian.

"Kebijakan sukubungarendah ini memang membantu pelaku usaha nantinya dalam menyerap lebih banyak pinjaman untuk di putar. Walaupun di sisi lainnya, kebijakan menurunkan sukubungaacuan memang bisa saja membuat rupiah dalam tekanan terhadap mata uang asing khususnya US Dolar," tegas Jahen.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, dengan adanya vaksin Covid-19 ini seharusnya bisa membuat laju pemulihan ekonomi ‎kedepan akan membaik. Membaiknya laju ekonomi ini akan membuat inflasi bergerak naik dan di saat inflasi naik justrubungaacuan global nantinya akan mengalami kenaikan.

"Jadi kebijakan BI menurunkanbungaacuan saya pikir ruangnya sudah sangat terbatas. Kalau nanti diturunkan lagi, yang kita khawatirkan adalah dampak terhadap rupiah. Di sisi lainnya, kebijakan sukubungaacuan yang rendah bisa membuat aset keuangan atau produk keuangan menjadi kurang menarik. Yang haru diwaspadai jika terjadi pembelian modal atau sudden reversal,"katanya.

Diakuinya, kebijakan BI tersebut harus mempertimbangkan banyak aspek ketimbang hanya menejarbungamurah. "Bukan berarti kita menurunkanbungaacuan secara agresif, harus dilihat juga kondisi ekonomi global yang memburuk yang bisa memicu kita lalai dalam memitigasi dampak Covid-19," tegasnya.

Kepala Ekonom BRI Anton Hendranata mengatakan, sebenarnya perbankan sudah berusaha menurunkan suku bunga pinjamannya tetapi memang perlu waktu, karena urutannya ketika suku bunga acuan BI turun maka turun pertama suku bunga deposito kemudian suku bunga pinjaman.

“Pertumbuhan kredit sudah lama turunnya bukan hanya 2020 saja, memang agak melambat penurunannya kreditnya. Ada hal yang ekstra ordinary karena pandemi. Pada situasi pandemi permintaan lemah, daya beli masyarakat terbatas,” kata Anton.

Menurutnya, penurunan suku bunga kredit memang diperlukan, tapi ini tidak cukup dan bukan faktor utama dalam mendorong pertumbuhan kredit. Pertumbuhan kredit dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, suku bunga, kualitas kredit tercermin NPL, dan penjualan eceran.

“Jika konsumsi RT dan daya beli masyarakat tidak kuat maka tidak kuat mendorong penyaluran kredit meskipun perbankan sudah menurunkan suku bunga dan perbankan sudah menurunkan bunga,” tandasnya.

Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menambahkan, rigiditas atau kekakuan suku bunga kredit adalah fenomena moneter. Tidak turunnya suku bunga kredit ketika suku bunga acuan sudah turun bukan disebabkan oleh kurang transparannya bank dalam proses penetapan suku bunga kredit. Bukan juga disebabkan oleh kurang efisiennya pengelolaan bank.

“Di sisi lain nasabah pemilik dana besar punya bargaining yang besar terhadap bank dan mampu menetapkan suku bunga. Jadi untuk menghilangkan rigiditas suku bunga kredit, BI menurut saya perlu melakukan evaluasi terhadap operasi moneternya,” jelasnya.

Dalam penelitian yang dia lakukan pada tahun 2015 tentang perilaku pembentukan suku bunga bank umum menggunakan pendekatan game theory menunjukkan hasil yang sangat menarik. Ketika BI menurunkan suku bunga acuan, response terbaik (nash equilibrium) dari bank-bank adalah menurunkan suku bunga deposito dan disisi lain menahan suku bunga kredit.

“Artinya fenomena rigiditas suku bunga kredit sudah bisa diprediksi sejak awal. Bank-bank akan cenderung memanfaatkan turunnya suku bunga acuan untuk melebarkan net interest margin (NIM) guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar,” ucap Piter.(aprilia s andyna/r ratna purnama/kunthi fahmar sandy)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More