Serang Jokowi Pakai Buzzer? Cek Bayarannya

Senin, 15 Februari 2021 - 12:45 WIB
Ilustrasi. FOTO/SINDOnews
JAKARTA - Direktur Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menegaskan bahwa keberadaan buzzer jangan selalu dianggap negatif karena seringkali juga mereka menyuarakan hal positif bahkan membela isu isu nasionalisme dan melawan kelompok intoleran, kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Hadirnya buzzer ini juga karena buah demokrasi, media sosial, keterbukaan informasi dunia digital. Menurut dia siapapun bisa diorganisir sebagai kelompok, untuk digunakan baik politik maupun yang lain. Selain itu bisa digunakan untuk kepentingan apapun, bahkan sering sekali buzzer digunakan untuk kepentingan tertentu.

Namun demikian, perspektif buzzer menjadi negatif bila digunakan untuk kelompok tertentu dalam hal ini menyerang pemerintahan. Sebaliknya, ketika ada suara positif, malah pemerintah yang dituduh memelihara buzzer. "Kadang tidak fairnya, pemerintah dituduh mengorganisir, atau memelihara. Padahal pihak oposisi yang kerap menggunakan buzzer untuk menyerang pemerintah," ungkap Karyono ketika dihubungi, Senin (14/2/2021).



Dia mengungkapkan seperti kekuatan kelompok garis keras yang memelihara buzzer untuk mendowngrade pancasila seakan meninggikan idiologi lain. Hal itu dilakukan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Tidak hanya itu, PKS dan Front Pembela Islam (FPI) juga melakukan hal yang sama, yaitu membayar buzzer untuk menyerang pemerintah termasuk Presiden Jokowi. "FPI juga menggunakan itu (buzzer), PKS juga menggunakan buzzer, untuk menyerang pemerintah," kata dia.



Untuk mengahalau itu semua, Karyono sepakat pemerintah menggunakan UU ITE, karena untuk menjerat kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan buzzer. Sementara, penggiat media sosial Ade Armando menganggap keberadaan buzzer dalam demokrasi bukanlah hal baru, sehingga tidak perlu untuk ditertibkan.

Menurut Ade, penggunaan influencer dan buzzer untuk mensosialisasikan sebuah program atau kebijakan tertentu merupakan hal yang tak terhindarkan di era digitalisasi seperti sekarang ini. "Malah bodoh sekali ketika kita tahu persis bahwa kita bisa meraih sasaran dengan lebih cepat dan luas jika menggunakan influencer, tetapi tidak menggunakannya," ujar Ade.

Hal ini lumrah, karena terjadi dan siapa pun dapat menggunakan influencer atau buzzer. Kalaupun, ada penindakan sejumlah orang yang mengkritik pemerintah itu bukan lantaran karena kritiknya. Mereka yang mengkritik kemudian dipolisikan, karena polisi mengendus ada unsur pidananya, seperti Refly Harun, Rocky Gerung sampai Din Syamsuddin yang masih aman meski sering mengkritik.

Memang ada kasus pengkritik yang kemudian berakhir di meja hukum, misalnya kasus Ustaz Maaher, Ahmad Dhani dan Habib Rizieq. Namun dalam tiga kasus ini, menurut Ade, mereka terjerat unsur pidana.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More