Kapal-kapal di Dermaga Eksekutif Perlu Diaudit
Senin, 01 Maret 2021 - 00:09 WIB
"Seharusnya kapal-kapal yang dibangun menggunakan dana APBN itu ditempatkan di lintasan keperintisan atau di dermaga 5 Merak yang kurang diminati swasta. ASDP sebagai BUMN jangan mencari keuntungan saja, tetapi harus menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh swasta. Ditjen Perhubungan Darat seharusnya segera memindahkan kapal-kapal itu dari dermaga eksekutif," ujarnya.
Dia juga mendesak Ditjen Hubdar menarik dua kapal ASDP lain dari dermaga eksekutif karena dinilai kurang layak. Kapal-kapal itu yakni KMP Portlink III yang pernah rusak selama 1 tahun dan saat ini pun sudah tidak beroperasi 1 bulan karena rusak lagi, serta KMP Jatra III yang ukurannya kecil dengan panjang hanya 89 meter.
Berdasarkan data AIS (Automatic Identification System) di Ditjen Hubdar yang mengatur trafik kapal, ungkap Bambang Haryo, kecepatan KMP Jatra III dan KMP Portlink hanya sekitar 12 knot, bahkan kurang.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 yang pernah menjadi anggota Badan Anggaran DPR RI ini menegaskan, masyarakat berhak mendapatkan pelayanan terbaik karena dermaga eksekutif dibangun menggunakan APBN dan Penyertaan Modal Negara (PMN).
Sayangnya, Bambang Haryo menilai pemanfaatan dermaga eksekutif selama ini tidak maksimal, terbukti dari jumlah penumpang yang masuk ke dalam terminal sangat sedikit sehingga banyak tenant tidak beroperasi alias tutup. "Kalau terminal eksekutif eksisting saja tidak berfungsi maksimal, mengapa bangun lagi terminal eksekutif baru yang diperkirakan butuh investasi lebih dari Rp500 miliar itu. Ini jelas-jelas pemborosan anggaran," katanya.
Menurut dia, biaya pembangunan terminal eksekutif itu terlalu mahal, sebab pengalamannya membangun mall 4 lantai yang lebih besar dari terminal eksekutif, ditambah hotel internasional 10 lantai miliknya sendiri hanya menelan investasi kurang dari Rp300 miliar. "Kita harap KPK hadir mengevaluasi proyek terminal eksekutif karena berpotensi mubazir dan merugikan negara," ujarnya.
Dia yakin Presiden Jokowi akan marah besar jika mengetahui persoalan dermaga eksekutif ini. "Presiden pasti mengharapkan masyarakat mendapat pelayanan terbaik dari pembangunan dermaga khusus itu, bukan untuk keuntungan ASDP semata," kata politisi sekaligus Dewan Pakar Partai Gerindra ini.
BHS mengharapkan Presiden memerintahkan Menteri Perhubungan segera mengoreksi dominasi ASDP dan penempatan kapal di bawah spek yang merugikan rakyat. Menurut dia, dominasi ASDP selama ini membuat BUMN itu terjerumus ke dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, lanjutnya, ada ketidaklaziman peran ASDP sebab selain menjadi fasilitor yakni pengelola pelabuhan, BUMN itu juga mengelola kapal, bahkan bertindak sebagai regulator karena mengatur izin dan jadwal kapal.
"Hal ini tidak kita temui di moda transportasi lain, dimana fungsi fasilitator, operator, dan regulator sudah dilakukan oleh lembaga atau korporasi terpisah. Misalnya di transportasi laut, operator kapalnya adalah Pelni, fasilitator pengelola pelabuhan Pelindo, dan regulatornya KSOP. Penguasaan ASDP itu mengakibatkan power-nya melebihi pemerintah," jelasnya.
Dia juga mendesak Ditjen Hubdar menarik dua kapal ASDP lain dari dermaga eksekutif karena dinilai kurang layak. Kapal-kapal itu yakni KMP Portlink III yang pernah rusak selama 1 tahun dan saat ini pun sudah tidak beroperasi 1 bulan karena rusak lagi, serta KMP Jatra III yang ukurannya kecil dengan panjang hanya 89 meter.
Berdasarkan data AIS (Automatic Identification System) di Ditjen Hubdar yang mengatur trafik kapal, ungkap Bambang Haryo, kecepatan KMP Jatra III dan KMP Portlink hanya sekitar 12 knot, bahkan kurang.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 yang pernah menjadi anggota Badan Anggaran DPR RI ini menegaskan, masyarakat berhak mendapatkan pelayanan terbaik karena dermaga eksekutif dibangun menggunakan APBN dan Penyertaan Modal Negara (PMN).
Sayangnya, Bambang Haryo menilai pemanfaatan dermaga eksekutif selama ini tidak maksimal, terbukti dari jumlah penumpang yang masuk ke dalam terminal sangat sedikit sehingga banyak tenant tidak beroperasi alias tutup. "Kalau terminal eksekutif eksisting saja tidak berfungsi maksimal, mengapa bangun lagi terminal eksekutif baru yang diperkirakan butuh investasi lebih dari Rp500 miliar itu. Ini jelas-jelas pemborosan anggaran," katanya.
Menurut dia, biaya pembangunan terminal eksekutif itu terlalu mahal, sebab pengalamannya membangun mall 4 lantai yang lebih besar dari terminal eksekutif, ditambah hotel internasional 10 lantai miliknya sendiri hanya menelan investasi kurang dari Rp300 miliar. "Kita harap KPK hadir mengevaluasi proyek terminal eksekutif karena berpotensi mubazir dan merugikan negara," ujarnya.
Dia yakin Presiden Jokowi akan marah besar jika mengetahui persoalan dermaga eksekutif ini. "Presiden pasti mengharapkan masyarakat mendapat pelayanan terbaik dari pembangunan dermaga khusus itu, bukan untuk keuntungan ASDP semata," kata politisi sekaligus Dewan Pakar Partai Gerindra ini.
BHS mengharapkan Presiden memerintahkan Menteri Perhubungan segera mengoreksi dominasi ASDP dan penempatan kapal di bawah spek yang merugikan rakyat. Menurut dia, dominasi ASDP selama ini membuat BUMN itu terjerumus ke dalam praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, lanjutnya, ada ketidaklaziman peran ASDP sebab selain menjadi fasilitor yakni pengelola pelabuhan, BUMN itu juga mengelola kapal, bahkan bertindak sebagai regulator karena mengatur izin dan jadwal kapal.
"Hal ini tidak kita temui di moda transportasi lain, dimana fungsi fasilitator, operator, dan regulator sudah dilakukan oleh lembaga atau korporasi terpisah. Misalnya di transportasi laut, operator kapalnya adalah Pelni, fasilitator pengelola pelabuhan Pelindo, dan regulatornya KSOP. Penguasaan ASDP itu mengakibatkan power-nya melebihi pemerintah," jelasnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda