Ingatkan Pesan Menteri Yasonna, Pengurus PKPU GRP Harus Fair Soal Fee
Senin, 08 Maret 2021 - 11:45 WIB
JAKARTA - Pengurus atau Kurator Permohonan Kewajiban Penundaan Utang (PKPU) PT Gunung Raja Paksi, Tbk hendaknya mematuhi pesan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk bekerja profesional. Dengan demikian, para Pengurus tidak hanya mengejar fee besar yang hanya menambah beban pelaku ekonomi, terlebih saat pandemi Covid-19.
“Pesan Pak Yasonna harus sungguh-sungguh menjadi perhatian. Para Pengurus tidak boleh aji mumpung. Dalam meminta fee, Pengurus hendaknya sesuai aturan, fair, dan tidak mengada-ada,” kata pakar hukum bisnis Universitas Trisakti Ary Zulfikar di Jakarta.
Akhir pekan lalu, Yasonna memang berpesan keras bahwa para kurator harus menekankan pentingnya sense of crisis. Di antaranya, meninggalkan praktik kotor untuk tujuan menarik fee besar, yang justru akan menambah beban pelaku usaha di saat sulit.
Dalam konteks itu pula, menurut Ary, permintaan fee Pengurus sebesar Rp80 Miliar memang terkesan mengada-ada. Pasalnya, utang kepada pemohon PKPU hanya Rp1,9 Miliar. Sedangkan di sisi lain, beban pekerjaan Pengurus tidak terlalu rumit karena GRP selaku debitur telah membayar lunas semua utang jatuh tempo sebesar Rp215 Miliar.
“Apalagi penyelesaian adalah dengan pencabutan PKPU berdasarkan Pasal 259 UU Kepailitan dan PKPU, bukan perdamaian. Selain itu, Debitur juga sudah membayar semua utang yang jatuh tempo. Artinya, pekerjaan Pengurus memang belum terlalu komplek. Jadi, sebaiknya kembali ke asas fairness, termasuk perhitungan fee berdasarkan jam kerja,” kata dia.
Pengembalian kepada asas fairness, jelas Ary, karena sesuai Pasal 5 Permenkumham Nomor 2 tahun 2017, pengaturan fee Pengurus hanya mengatur dua kondisi. Yaitu dengan perdamaian dan tanpa perdamaian. Perhitungannya sama, yaitu persentase berdasarkan utang yang harus dibayarkan.
“Dan dalam PKPU, yang dimaksud utang yang harus dibayarkan adalah utang jatuh tempo. Bukan keseluruhan utang, termasuk utang jangka panjang,” urainya.
Karena hanya mengatur dua kondisi itulah, lanjutnya, maka dalam kondisi PKPU berakhir pencabutan sesuai Pasal 259, memang terdapat kekosongan hukum. Tetapi dalam hal ini, Hakim Pemutus bisa memberlakukan mutatis mutandis untuk menetapkan besarnya fee Pengurus, yaitu dengan memperhatikan asas fairness tadi.
“Bahwa dalam mempertimbangkan besaran fee Pengurus, Hakim Pemutus harus memperhatikan prinsip yang sama seperti Pasal 3 Ayat 2, tentang tingkat kerumitan pekerjaan kurator,” pungkasnya.
“Pesan Pak Yasonna harus sungguh-sungguh menjadi perhatian. Para Pengurus tidak boleh aji mumpung. Dalam meminta fee, Pengurus hendaknya sesuai aturan, fair, dan tidak mengada-ada,” kata pakar hukum bisnis Universitas Trisakti Ary Zulfikar di Jakarta.
Akhir pekan lalu, Yasonna memang berpesan keras bahwa para kurator harus menekankan pentingnya sense of crisis. Di antaranya, meninggalkan praktik kotor untuk tujuan menarik fee besar, yang justru akan menambah beban pelaku usaha di saat sulit.
Dalam konteks itu pula, menurut Ary, permintaan fee Pengurus sebesar Rp80 Miliar memang terkesan mengada-ada. Pasalnya, utang kepada pemohon PKPU hanya Rp1,9 Miliar. Sedangkan di sisi lain, beban pekerjaan Pengurus tidak terlalu rumit karena GRP selaku debitur telah membayar lunas semua utang jatuh tempo sebesar Rp215 Miliar.
“Apalagi penyelesaian adalah dengan pencabutan PKPU berdasarkan Pasal 259 UU Kepailitan dan PKPU, bukan perdamaian. Selain itu, Debitur juga sudah membayar semua utang yang jatuh tempo. Artinya, pekerjaan Pengurus memang belum terlalu komplek. Jadi, sebaiknya kembali ke asas fairness, termasuk perhitungan fee berdasarkan jam kerja,” kata dia.
Pengembalian kepada asas fairness, jelas Ary, karena sesuai Pasal 5 Permenkumham Nomor 2 tahun 2017, pengaturan fee Pengurus hanya mengatur dua kondisi. Yaitu dengan perdamaian dan tanpa perdamaian. Perhitungannya sama, yaitu persentase berdasarkan utang yang harus dibayarkan.
“Dan dalam PKPU, yang dimaksud utang yang harus dibayarkan adalah utang jatuh tempo. Bukan keseluruhan utang, termasuk utang jangka panjang,” urainya.
Karena hanya mengatur dua kondisi itulah, lanjutnya, maka dalam kondisi PKPU berakhir pencabutan sesuai Pasal 259, memang terdapat kekosongan hukum. Tetapi dalam hal ini, Hakim Pemutus bisa memberlakukan mutatis mutandis untuk menetapkan besarnya fee Pengurus, yaitu dengan memperhatikan asas fairness tadi.
“Bahwa dalam mempertimbangkan besaran fee Pengurus, Hakim Pemutus harus memperhatikan prinsip yang sama seperti Pasal 3 Ayat 2, tentang tingkat kerumitan pekerjaan kurator,” pungkasnya.
(akr)
tulis komentar anda