Kisah Pemuda Raup Omzet Ratusan Juta dari Bisnis Biodiesel
Sabtu, 17 April 2021 - 12:00 WIB
Suatu kali ia kesulitan mendapat jelantah, karena adanya mafia yang mengumpulkan jelantah untuk dipakai ulang. Ia lalu mempelajari model bank sampah.
“Berbekal berbagai analisis, kami membuat bank minyak jelantah RT/RW, yang efektif sampai hari ini. Kami memberi fasilitas, seperti check point dan jerigen, untuk kemudahan masyarakat. Dengan sistem ini, kami mengintegrasi satu kota” ucapnya.
Namun, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit dan Andi mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah. Banyak perusahaan besar berskala nasional dan multinasional yang tertarik, karena mereka bisa menerapkan CSR, sekaligus mendapat ruang untuk branding.
Dia juga membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga. Setiap tiga hari mereka mengumpulkan segelas jelantah dalam wadah yang bisa dipakai ulang. "Tabungan jelantah siswa itu hanya bisa dicairkan dalam bentuk program ekstrakurikuler berbasis lingkungan,” tuturnya.
Edukasi soal bahaya minyak goreng daur ulang dilakukan oleh Andi dan timnya. Menurut timnya, ketika memasak, sebetulnya hanya 30 persen minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah. Oleh karena itu, pihaknya mengajak masyarakat menabung minyak jelantah yang nantinya tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru. “Dengan begitu, mereka terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat. Di sisi lain, kami juga mendapatkan bahan baku untuk produksi,” kata Andi.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel karena warnanya berbeda dari solar, sehingga mereka khawatir kapal jadi rusak. Andi memastikan, selain harganya lebih murah daripada solar, biodiesel juga tidak akan merusak mesin kapal. Tidak hanya membangun bisnis bersama lima teman, dia juga merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku.
"Kami mengedukasi mereka tentang bahaya minyak goreng bekas yang disalahgunakan, dan mengajak mereka menjadi agen lingkungan. Mereka pergi ke tukang-tukang gorengan untuk mengumpulkan minyak jelantah agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Mereka pun mendapatkan penghasilan yang memadai,” kata Andi.
Selain itu, dia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing. Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp1.000. “Cara ini menumbuhkan sumber pendapatan baru. Dengan mengintegrasi sistem bank minyak jelantah di satu kota, ada potensi terciptanya 6.000 lapangan kerja baru,” tegasnya.
“Berbekal berbagai analisis, kami membuat bank minyak jelantah RT/RW, yang efektif sampai hari ini. Kami memberi fasilitas, seperti check point dan jerigen, untuk kemudahan masyarakat. Dengan sistem ini, kami mengintegrasi satu kota” ucapnya.
Namun, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit dan Andi mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah. Banyak perusahaan besar berskala nasional dan multinasional yang tertarik, karena mereka bisa menerapkan CSR, sekaligus mendapat ruang untuk branding.
Dia juga membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga. Setiap tiga hari mereka mengumpulkan segelas jelantah dalam wadah yang bisa dipakai ulang. "Tabungan jelantah siswa itu hanya bisa dicairkan dalam bentuk program ekstrakurikuler berbasis lingkungan,” tuturnya.
Edukasi soal bahaya minyak goreng daur ulang dilakukan oleh Andi dan timnya. Menurut timnya, ketika memasak, sebetulnya hanya 30 persen minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah. Oleh karena itu, pihaknya mengajak masyarakat menabung minyak jelantah yang nantinya tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru. “Dengan begitu, mereka terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat. Di sisi lain, kami juga mendapatkan bahan baku untuk produksi,” kata Andi.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel karena warnanya berbeda dari solar, sehingga mereka khawatir kapal jadi rusak. Andi memastikan, selain harganya lebih murah daripada solar, biodiesel juga tidak akan merusak mesin kapal. Tidak hanya membangun bisnis bersama lima teman, dia juga merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku.
"Kami mengedukasi mereka tentang bahaya minyak goreng bekas yang disalahgunakan, dan mengajak mereka menjadi agen lingkungan. Mereka pergi ke tukang-tukang gorengan untuk mengumpulkan minyak jelantah agar tidak jatuh ke tangan yang salah. Mereka pun mendapatkan penghasilan yang memadai,” kata Andi.
Selain itu, dia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing. Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp1.000. “Cara ini menumbuhkan sumber pendapatan baru. Dengan mengintegrasi sistem bank minyak jelantah di satu kota, ada potensi terciptanya 6.000 lapangan kerja baru,” tegasnya.
(nng)
Lihat Juga :
tulis komentar anda