Utang Berikut Denda Lapindo Rp1,91 Triliun, Indef: Cukup Fair kalau Pemerintah Menagih Itu
Kamis, 06 Mei 2021 - 20:59 WIB
“Aset ini kan yang saya kira nilai value-nya cukup tinggi. Misal lahan tanah dan sebagainya. Kalau yang lain kan umumnya nggak bisa. Kalau masih punya nilai prospek ke depan bagus dan diverifikasi, dinilai oleh appraisal, mungkin patut diperhitungkan,” ujarnya
“Pada pencatatan buku, mungkin nilainya sudah berkurang, karena banyak hal, penyusutan dan sebagainya. Hanya lahan saja yang masih bisa, bangunan dan sebagainya menjadi tidak penting bagi pemerintah,” kata Tauhid Ahmad.
Jika masalah utang Lapindo tidak kunjung selesai, ia khawatir ke depannya negara bisa dirugikan. Kata dia, bisa saja nantinya ada keputusan politis yang akan memutihkan kewajiban Lapindo terhadap pemerintah. Tauhid Ahmad menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi.
“Kita juga tidak mau seperti itu. Pemerintah sebaiknya kencang sampai kapanpun. Kan uang negara yang digunakan untuk mengganti kerugian masyarakat,” ujarnya.
Bencana Lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006 lalu, di Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas. Buntut dari semburan lumpur panas, pada Maret 2007 perusahaan konglomerasi Bakrie itu memperoleh pinjaman Rp781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp773,8 miliar.
Pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8%, dengan denda 1/1.000 per-hari dari nilai pinjaman. Namun hingga saat ini, Lapindo Brantas Inc belum juga melunasi utangnya. BPK mencatat Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara sebesar Rp1,91 triliun.
Jumat lalu (30/4/3021), Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban menegaskan bahwa pemerintah masih terus berupaya menagih. “Lapindo masih kami teliti, pada dasarnya apa yang ada di catatan pemerintah itu yang akan kita tagihkan,” ujar Rionald.
“Pada pencatatan buku, mungkin nilainya sudah berkurang, karena banyak hal, penyusutan dan sebagainya. Hanya lahan saja yang masih bisa, bangunan dan sebagainya menjadi tidak penting bagi pemerintah,” kata Tauhid Ahmad.
Jika masalah utang Lapindo tidak kunjung selesai, ia khawatir ke depannya negara bisa dirugikan. Kata dia, bisa saja nantinya ada keputusan politis yang akan memutihkan kewajiban Lapindo terhadap pemerintah. Tauhid Ahmad menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi.
“Kita juga tidak mau seperti itu. Pemerintah sebaiknya kencang sampai kapanpun. Kan uang negara yang digunakan untuk mengganti kerugian masyarakat,” ujarnya.
Bencana Lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006 lalu, di Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas. Buntut dari semburan lumpur panas, pada Maret 2007 perusahaan konglomerasi Bakrie itu memperoleh pinjaman Rp781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp773,8 miliar.
Pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8%, dengan denda 1/1.000 per-hari dari nilai pinjaman. Namun hingga saat ini, Lapindo Brantas Inc belum juga melunasi utangnya. BPK mencatat Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara sebesar Rp1,91 triliun.
Jumat lalu (30/4/3021), Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban menegaskan bahwa pemerintah masih terus berupaya menagih. “Lapindo masih kami teliti, pada dasarnya apa yang ada di catatan pemerintah itu yang akan kita tagihkan,” ujar Rionald.
(dar)
tulis komentar anda