IPO Diyakini Perkuat Posisi Pertamina Internasional Shipping
Kamis, 20 Mei 2021 - 19:16 WIB
"Tidak hanya pengoperasian dan biaya logistik migas internasional kita yang jadi lebih murah, ada berbagai manfaat turunan lainnya, baik dampak tidak langsung kepada berbagai usaha terkait, pembukaan lapangan kerja, hingga pajak kepada negara," ujar Doktor bidang logistik maritim dari Australian Maritime College (AMC) Univ. of Tasmania, Australia itu.
Dia mengakui bahwa mendapatkan kombinasi keuntungan melalui efisiensi versus manfaat yang diharapkan memang tidak mudah. Pasalnya, industri maritim di Tanah Air lemah untuk orientasi luar negeri karena berbagai arus jasa bisnis maritim di dalam negeri faktanya tetap didominasi pemain asing.
Hal tersebut menurutnya kemungkinan karena fokus para pemain di industri maritim masih ke dalam negeri yang kuenya memang cukup besar, sehingga merasa lebih nyaman dengan pangsa pasar yang sudah pasti ini (captive-market). "Atau kemungkinan kita memang kurang membangun kekuatan untuk orientasi luar negeri itu. Termasuk untuk urusan pengangkutan impor migas," imbuhnya.
Padahal, kata dia, dengan kepemilikan kapal-kapal besar dalam jumlah banyak tentu akan mendukung dalam memenuhi skala ekonomi yang lebih efisien sehingga, ongkos angkut ekspor-impor minyak bisa lebih menguntungkan dan baik bagi ekonomi dalam negeri.
Saut memaparkan, tantangan dalam pengelolaan kapal-kapal besar adalah fasilitas galangan kapal yang harus memadai, kompetensi SDM berstandar internasional di bagian operator, perancang hingga manajemen yang memenuhi berbagai standar internasional. Begitu juga urusan komersialnya seperti pendanaan asuransi baik untuk kapal, kargo dan awak kapal. "Penyiapan dan kesiapan kita untuk berbagai faktor di atas memang masih belum lengkap dan cukup terlambat," katanya.
Saut juga mengungkapkan bahwa Indonesia baru saja masuk dalam kategori white-list dari grey-list Tokyo MOU yang menandakan kapal-kapal berbendera Indonesia yang diuji petik oleh sejumlah otoritas pelayaran di berbagai negara dianggap masih memenuhi syarat keselamatan. Fakta tersebut menuntut agar semua proses bisnis, aset serta sumber daya yang dimiliki harus memenuhi berbagai aturan internasional yang cukup banyak itu.
"Saya kira usaha membuat entitas PIS menjadi perusahaan publik tidak lain supaya lebih terawasi, serta mengejar pemenuhan aspek regulasi internasional lewat kolaborasi dengan berbagai entitas internasional saya pikir baik dan wajar. Mengapa? Karena ini sudah menjadi business practice di dunia pelayaran, termasuk pelayaran migas internasional," katanya.
Agar dapat memberikan manfaat lebih besar kepada industri, Saut menyarankan PIS memperkuat kompetensi SDM Indonesia, ikut mengembangan industri galangan kapal, komponen kapal, asuransi maritim, serta usaha utilitas kapal dan pelayaran lainnya di dalam negeri.
Dia mengakui bahwa mendapatkan kombinasi keuntungan melalui efisiensi versus manfaat yang diharapkan memang tidak mudah. Pasalnya, industri maritim di Tanah Air lemah untuk orientasi luar negeri karena berbagai arus jasa bisnis maritim di dalam negeri faktanya tetap didominasi pemain asing.
Hal tersebut menurutnya kemungkinan karena fokus para pemain di industri maritim masih ke dalam negeri yang kuenya memang cukup besar, sehingga merasa lebih nyaman dengan pangsa pasar yang sudah pasti ini (captive-market). "Atau kemungkinan kita memang kurang membangun kekuatan untuk orientasi luar negeri itu. Termasuk untuk urusan pengangkutan impor migas," imbuhnya.
Padahal, kata dia, dengan kepemilikan kapal-kapal besar dalam jumlah banyak tentu akan mendukung dalam memenuhi skala ekonomi yang lebih efisien sehingga, ongkos angkut ekspor-impor minyak bisa lebih menguntungkan dan baik bagi ekonomi dalam negeri.
Saut memaparkan, tantangan dalam pengelolaan kapal-kapal besar adalah fasilitas galangan kapal yang harus memadai, kompetensi SDM berstandar internasional di bagian operator, perancang hingga manajemen yang memenuhi berbagai standar internasional. Begitu juga urusan komersialnya seperti pendanaan asuransi baik untuk kapal, kargo dan awak kapal. "Penyiapan dan kesiapan kita untuk berbagai faktor di atas memang masih belum lengkap dan cukup terlambat," katanya.
Saut juga mengungkapkan bahwa Indonesia baru saja masuk dalam kategori white-list dari grey-list Tokyo MOU yang menandakan kapal-kapal berbendera Indonesia yang diuji petik oleh sejumlah otoritas pelayaran di berbagai negara dianggap masih memenuhi syarat keselamatan. Fakta tersebut menuntut agar semua proses bisnis, aset serta sumber daya yang dimiliki harus memenuhi berbagai aturan internasional yang cukup banyak itu.
"Saya kira usaha membuat entitas PIS menjadi perusahaan publik tidak lain supaya lebih terawasi, serta mengejar pemenuhan aspek regulasi internasional lewat kolaborasi dengan berbagai entitas internasional saya pikir baik dan wajar. Mengapa? Karena ini sudah menjadi business practice di dunia pelayaran, termasuk pelayaran migas internasional," katanya.
Agar dapat memberikan manfaat lebih besar kepada industri, Saut menyarankan PIS memperkuat kompetensi SDM Indonesia, ikut mengembangan industri galangan kapal, komponen kapal, asuransi maritim, serta usaha utilitas kapal dan pelayaran lainnya di dalam negeri.
Lihat Juga :
tulis komentar anda