RI Hadapi Tantangan Dalam Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Jum'at, 18 Juni 2021 - 20:05 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menyatakan, dalam hal penurunan emisi gas karbon sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2016 Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.
“Akhirnya pemerintah langsung menurunkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 61 tahun 2011 terkait dengan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK),” kata Mamit dalam keterangan tertulisnya Jumat (18/6/2021).
(Baca Juga : Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca, Ini Peran Aktif PLN )
Pada awalnya pemerintah dalam pertemuan G-20 di Pittsburg telah sepakat untuk melakukan penurunan emisi GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi.Akan tetapi, pertemuan G-20 tersebut diratifikasi menjadi 29% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada 2030 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi.
Target Indonesia besar sekali untuk mengurangi emisi GRK, di mana untuk sektor energi sendiri mencapai 314 juta ton CO2 dengan kemampuan sendiri dan sebesar 392 juta ton CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.
Lebih lanjut, Mamit menjelaskan, upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama stakeholder dalam mengurangi emisi GRK yaitu, pemanfaatan listrik yang bersumber dari EBT. Penerapan efisiensi energi, penggunaan bahan bakar nabati (BBN), transisi energi; serta optimalisasi gas suar.
(Baca Juga : Tekad Luhut: Emisi Gas Rumah Kaca Susut 38% di 2030 )
Terkait transisi energi yang saat ini sedang dilakukan di Indonesia, menurut Mamit butuh waktu, sebab transisi energi ini butuh modal yang tidak sedikit dan butuh pembangunan infrastruktur.
“Ini cukup berat karena masih ketergantungan dengan energi murah terutama batubara,”ujarnya. Transisi energi harus tetap dilakukan secara bertahap, terlebih lagi kita masih memiliki target-target yang memang harus dicapai seperti 1 juta barel di 2030, pembangunan RDMP (Refinery Development Master Plan) dan GRR (Grass Root Refinery) sedang berjalan.
Dia mengatakan, transisi energi buka hal yang tidak mungkin untuk dicapai, akan tetapi menjadi suatu keharusan, sehingga transisinya bisa berjalan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.“Jangan sampai transisi energi ini justru akan memberatkan masyarakat dengan kenaikan-kenaikan tarif ke depannya,” paparnya.
“Akhirnya pemerintah langsung menurunkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 61 tahun 2011 terkait dengan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK),” kata Mamit dalam keterangan tertulisnya Jumat (18/6/2021).
(Baca Juga : Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca, Ini Peran Aktif PLN )
Pada awalnya pemerintah dalam pertemuan G-20 di Pittsburg telah sepakat untuk melakukan penurunan emisi GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi.Akan tetapi, pertemuan G-20 tersebut diratifikasi menjadi 29% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada 2030 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi.
Target Indonesia besar sekali untuk mengurangi emisi GRK, di mana untuk sektor energi sendiri mencapai 314 juta ton CO2 dengan kemampuan sendiri dan sebesar 392 juta ton CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.
Lebih lanjut, Mamit menjelaskan, upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah bersama stakeholder dalam mengurangi emisi GRK yaitu, pemanfaatan listrik yang bersumber dari EBT. Penerapan efisiensi energi, penggunaan bahan bakar nabati (BBN), transisi energi; serta optimalisasi gas suar.
(Baca Juga : Tekad Luhut: Emisi Gas Rumah Kaca Susut 38% di 2030 )
Terkait transisi energi yang saat ini sedang dilakukan di Indonesia, menurut Mamit butuh waktu, sebab transisi energi ini butuh modal yang tidak sedikit dan butuh pembangunan infrastruktur.
“Ini cukup berat karena masih ketergantungan dengan energi murah terutama batubara,”ujarnya. Transisi energi harus tetap dilakukan secara bertahap, terlebih lagi kita masih memiliki target-target yang memang harus dicapai seperti 1 juta barel di 2030, pembangunan RDMP (Refinery Development Master Plan) dan GRR (Grass Root Refinery) sedang berjalan.
Dia mengatakan, transisi energi buka hal yang tidak mungkin untuk dicapai, akan tetapi menjadi suatu keharusan, sehingga transisinya bisa berjalan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.“Jangan sampai transisi energi ini justru akan memberatkan masyarakat dengan kenaikan-kenaikan tarif ke depannya,” paparnya.
(dar)
tulis komentar anda