Pakar Hukum UI: Holding Ultra Mikro Bukan Akuisisi, Pemerintah Tetap Jadi Pengendali
Sabtu, 19 Juni 2021 - 19:07 WIB
Dian melanjutkan, langkah pemerintah membuat holding ultra mikro patut mendapat apresiasi. Alasannya, aksi korporasi ini akan menciptakan efisiensi bisnis dan membuka peluang BUMN terlibat untuk bekerja lebih cepat dan tidak terpaku pada pakem birokrasi pemerintahan.
Dia menegaskan, hal krusial dari keberadaan BUMN selama ini ada pada hal status hukum kekayaan perusahaan milik negara. Idealnya, BUMN harus bergerak tanpa politisasi atau campur tangan pemerintah agar bisa menjalankan perannya sebagai perusahaan yang berbisnis secara sehat.
Sementara itu, Ekonom senior INDEF, Aviliani sebelumnya meyakini, saat ini pelaku UMKM membutuhkan pembentukan holding ultra mikro karena keuntungan dari integrasi tersebut akan banyak didapatkan pelaku usaha. “Dana untuk penyaluran (pembiayaan) dari Pegadaian dan PNM lebih murah. Ini juga akan membantu nasabah UMKM untuk dapat pulih lebih cepat di masa pandemi,” ucapnya.
Menurut Aviliani, saat ini pembiayaan ultra mikro yang disalurkan Pegadaian dan PNM sudah sangat masif. Namun, pembiayaan tersebut masih sangat bergantung pada investasi negara. Karenanya, biaya pembiayaan menjadi tinggi dan hal tersebut mengurangi kemampuan perusahaan serta negara untuk belanja keperluan lainnya.
“Memang permasalahan utama ini adalah pendanaan [bagi Pegadaian dan PNM]. Kalau masih dibiarkan sendiri-sendiri, penyertaan modal negara naik terus. Kalau dia masuk dalam bagian BRI, dia jadi bagus,” terang Aviliani.
Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan hingga 2020, proporsi pembiayaan UMKM terhadap total kredit perbankan baru sekitar 19,97 persen. Padahal pelaku usaha di Indonesia sebesar 99 persen adalah segmen UMKM. Pembentukan holding ultra mikro ditargetkan bisa memberi layanan produk yang lebih lengkap dan potensi pendanaan yang lebih murah untuk sekitar 29 juta usaha ultra mikro pada 2024.
Beberapa waktu lalu, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan bahwa karakteristik bisnis masing-masing perusahaan calon anggota holding ultra mikro akan tetap terjaga. Bahkan, integrasi ini disebutnya bisa menjangkau pelaku mikro secara lebih luas.
"Kita tahu ada 60 juta pelaku mikro, yang baru setengahnya dilayani keuangan formal. Empat tahun ke depan kami pun yakin akan ada akuisisi 30 juta nasabah baru," ujar Tiko.
Tiko memastikan efisiensi bisnis yang akan timbul akibat holding akan cukup besar. Potensi efisiensi ini muncul dari terbukanya peluang Pegadaian dan PNM mendapat pendanaan berbiaya rendah dengan mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) BRI.
Dia menegaskan, hal krusial dari keberadaan BUMN selama ini ada pada hal status hukum kekayaan perusahaan milik negara. Idealnya, BUMN harus bergerak tanpa politisasi atau campur tangan pemerintah agar bisa menjalankan perannya sebagai perusahaan yang berbisnis secara sehat.
Sementara itu, Ekonom senior INDEF, Aviliani sebelumnya meyakini, saat ini pelaku UMKM membutuhkan pembentukan holding ultra mikro karena keuntungan dari integrasi tersebut akan banyak didapatkan pelaku usaha. “Dana untuk penyaluran (pembiayaan) dari Pegadaian dan PNM lebih murah. Ini juga akan membantu nasabah UMKM untuk dapat pulih lebih cepat di masa pandemi,” ucapnya.
Menurut Aviliani, saat ini pembiayaan ultra mikro yang disalurkan Pegadaian dan PNM sudah sangat masif. Namun, pembiayaan tersebut masih sangat bergantung pada investasi negara. Karenanya, biaya pembiayaan menjadi tinggi dan hal tersebut mengurangi kemampuan perusahaan serta negara untuk belanja keperluan lainnya.
“Memang permasalahan utama ini adalah pendanaan [bagi Pegadaian dan PNM]. Kalau masih dibiarkan sendiri-sendiri, penyertaan modal negara naik terus. Kalau dia masuk dalam bagian BRI, dia jadi bagus,” terang Aviliani.
Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan hingga 2020, proporsi pembiayaan UMKM terhadap total kredit perbankan baru sekitar 19,97 persen. Padahal pelaku usaha di Indonesia sebesar 99 persen adalah segmen UMKM. Pembentukan holding ultra mikro ditargetkan bisa memberi layanan produk yang lebih lengkap dan potensi pendanaan yang lebih murah untuk sekitar 29 juta usaha ultra mikro pada 2024.
Beberapa waktu lalu, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan bahwa karakteristik bisnis masing-masing perusahaan calon anggota holding ultra mikro akan tetap terjaga. Bahkan, integrasi ini disebutnya bisa menjangkau pelaku mikro secara lebih luas.
"Kita tahu ada 60 juta pelaku mikro, yang baru setengahnya dilayani keuangan formal. Empat tahun ke depan kami pun yakin akan ada akuisisi 30 juta nasabah baru," ujar Tiko.
Tiko memastikan efisiensi bisnis yang akan timbul akibat holding akan cukup besar. Potensi efisiensi ini muncul dari terbukanya peluang Pegadaian dan PNM mendapat pendanaan berbiaya rendah dengan mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) BRI.
Lihat Juga :
tulis komentar anda