SNI Wajib Profil Baja Ringan, Senjata Ampuh Adang Gempuran Impor
Kamis, 29 Juli 2021 - 17:28 WIB
Saat ini anggota ARFI berjumlah 16 perusahaan besar Roll Forming yang tersebar diseluruh Indonesia. Semua anggota ARFI taat menerapkan kebijakan Kementerian Perindustrian.
Nicolas menambahkan, saat ini masih ada dua tantangan berat yang kini tengah dihadapi sektor industri baja ringan. Yang pertama terkait importasi produk raw material atau koilnya yang masih ditemukan adanya penyalahgunaan yang dilakukan beberapa importir. Kemudian impor produk jadi, karena ini merupakan industri yang dilakoni anggota-anggota ARFI.
Baca juga:Tak Bisa Prediksi Kapan Berakhir, Indonesia Akan Hidup Berdampingan dengan Corona?
“Posisi ARFI adalah produk-produk yang sudah mendekati hilir. Kalau dilihat dari hulunya ada IZASI (Indonesia Zinc-Alumunium Steel Industries) yang memproduksi koil atau raw material. Dan juga awalnya ini bahan bakunya adalah CRC (Cold Roll Coil). CRC masih mengalami defisit untuk memenuhi kebutuhan Indonesia. Lalu setelah mendapat koil-koil dari produsen Indonesia kami mengolahnya menjadi atap gelombang, genteng metal dan lain-lain. Jadi masih ditemukan adanya penyalahgunaan importasi boron masuk ke indonesia dan digunakan sebagai bahan baku untuk atap ataupun baja ringan,” urainya lagi.
Karena itu, guna menahan gempuran produk-produk impor tersebut, ARFI berharap pemerintah segera mewajibkan penerapan Sertifikat Nasional Indonesia (SNI) 8399-2017 untuk profil baja ringan bagi seluruh pelaku industri baja ringan yang berbisnis di Tanah Air.
“Penerapan ini diharapkan bersifat wajib, bukan sekadar imbauan. Sebab, cukup banyak peristiwa atau kejadian atap baja ringan roboh atau kita menyebutnya gagal konstruksi lantaran standardisasi produknya tidak sesuai SNI,” tegasnya lagi.
Dengan begitu ia berharap, industri baja ringan nasional dapat kembali bergeliat sehingga dapat mendukung upaya percepatan pemerataan pembangunan dan meningkatkan ekonomi nasional sejalan dengan upaya yang sudah dilakukan pemerintah di tengah pandemi seperti sekarang ini.
Nicolas menambahkan, saat ini masih ada dua tantangan berat yang kini tengah dihadapi sektor industri baja ringan. Yang pertama terkait importasi produk raw material atau koilnya yang masih ditemukan adanya penyalahgunaan yang dilakukan beberapa importir. Kemudian impor produk jadi, karena ini merupakan industri yang dilakoni anggota-anggota ARFI.
Baca juga:Tak Bisa Prediksi Kapan Berakhir, Indonesia Akan Hidup Berdampingan dengan Corona?
“Posisi ARFI adalah produk-produk yang sudah mendekati hilir. Kalau dilihat dari hulunya ada IZASI (Indonesia Zinc-Alumunium Steel Industries) yang memproduksi koil atau raw material. Dan juga awalnya ini bahan bakunya adalah CRC (Cold Roll Coil). CRC masih mengalami defisit untuk memenuhi kebutuhan Indonesia. Lalu setelah mendapat koil-koil dari produsen Indonesia kami mengolahnya menjadi atap gelombang, genteng metal dan lain-lain. Jadi masih ditemukan adanya penyalahgunaan importasi boron masuk ke indonesia dan digunakan sebagai bahan baku untuk atap ataupun baja ringan,” urainya lagi.
Karena itu, guna menahan gempuran produk-produk impor tersebut, ARFI berharap pemerintah segera mewajibkan penerapan Sertifikat Nasional Indonesia (SNI) 8399-2017 untuk profil baja ringan bagi seluruh pelaku industri baja ringan yang berbisnis di Tanah Air.
“Penerapan ini diharapkan bersifat wajib, bukan sekadar imbauan. Sebab, cukup banyak peristiwa atau kejadian atap baja ringan roboh atau kita menyebutnya gagal konstruksi lantaran standardisasi produknya tidak sesuai SNI,” tegasnya lagi.
Dengan begitu ia berharap, industri baja ringan nasional dapat kembali bergeliat sehingga dapat mendukung upaya percepatan pemerataan pembangunan dan meningkatkan ekonomi nasional sejalan dengan upaya yang sudah dilakukan pemerintah di tengah pandemi seperti sekarang ini.
(uka)
tulis komentar anda