Ekonomi Porak-Poranda, Pebasket Afghanistan Tegaskan Tak Mau Kembali ke Negaranya
Senin, 23 Agustus 2021 - 13:12 WIB
JAKARTA - Pebasket yang juga merupakan kapten tim bola basket kursi roda wanita Afghanistan Nilofar Bayat bercerita, dirinya sedang memulai kehidupan baru setelah berhasil kabur dari negaranya yang porak-poranda ekonominya. Tiba di ibu kota Spanyol , Madrid, bersama suaminya (Ramesh Naik Zai/27) pada Jumat (20/8) Bayat berhasil melarikan diri bersama 100 pengungsi.
"Saya melihat (saat) di bandara (Kabul) betapa berbahayanya (Taliban). Saya melihat mereka menembak dan memukuli. Saya menangis. Suami saya bilang ke saya saya untuk kuat, saya tidak akan pernah meninggalkan kamu sendirian," tutur Bayat, 28, dilansir Reuters, Minggu (22/8/2021).
Menyadari kondisi perekonomian yang kacau di ibu kota Kabul, Bayat khawatir masa depannya terancam jika memaksakan tinggal di negerinya. Dia mengaku tidak bisa hidup di bawah rezim Taliban karena menurutnya dapat membalikkan semua pencapaian yang telah diraih selama 20 tahun terakhir.
"Saat saya melihat Taliban, saya memberi tahu (suami saya) bahwa saya ingin meninggalkan negara ini karena saya tidak bisa hidup dengan orang-orang ini," ujarnya.
Dirinya takut peran perempuan akan berkurang di bawah Taliban. Menurtunya, Taliban memilki pandangan tersendiri atas peran kaum perempuan.
"Menjadi seorang wanita di rezim Taliban tidak berarti apa-apa, Anda bukan bagian dari masyarakat."
Bayat menceritakan masa lalunya yang kelam di bawah kekacauan Taliban. Saat berumur 2 tahun, sebuah roket menyasar rumahnya. Keluarganya menjadi korban kala itu. Kakaknya wafat, dan material bangunan mengenai sumsum tulang belakangnya yang membuatnya tak bisa berjalan hingga saat ini.
"Mereka (Taliban) datang dan mengubah hidup saya dan suami. Mereka memberi rasa sakit yang tak terbendung dalam hidup kami. Cacat permanen harus kami terima," tuturnya sambil mengingat masa lalu.
"Saya melihat (saat) di bandara (Kabul) betapa berbahayanya (Taliban). Saya melihat mereka menembak dan memukuli. Saya menangis. Suami saya bilang ke saya saya untuk kuat, saya tidak akan pernah meninggalkan kamu sendirian," tutur Bayat, 28, dilansir Reuters, Minggu (22/8/2021).
Menyadari kondisi perekonomian yang kacau di ibu kota Kabul, Bayat khawatir masa depannya terancam jika memaksakan tinggal di negerinya. Dia mengaku tidak bisa hidup di bawah rezim Taliban karena menurutnya dapat membalikkan semua pencapaian yang telah diraih selama 20 tahun terakhir.
"Saat saya melihat Taliban, saya memberi tahu (suami saya) bahwa saya ingin meninggalkan negara ini karena saya tidak bisa hidup dengan orang-orang ini," ujarnya.
Dirinya takut peran perempuan akan berkurang di bawah Taliban. Menurtunya, Taliban memilki pandangan tersendiri atas peran kaum perempuan.
"Menjadi seorang wanita di rezim Taliban tidak berarti apa-apa, Anda bukan bagian dari masyarakat."
Bayat menceritakan masa lalunya yang kelam di bawah kekacauan Taliban. Saat berumur 2 tahun, sebuah roket menyasar rumahnya. Keluarganya menjadi korban kala itu. Kakaknya wafat, dan material bangunan mengenai sumsum tulang belakangnya yang membuatnya tak bisa berjalan hingga saat ini.
"Mereka (Taliban) datang dan mengubah hidup saya dan suami. Mereka memberi rasa sakit yang tak terbendung dalam hidup kami. Cacat permanen harus kami terima," tuturnya sambil mengingat masa lalu.
tulis komentar anda