BPOM Dorong Pengumpulan Bukti Empiris Khasiat Jamu Nusantara

Jum'at, 10 September 2021 - 02:49 WIB
Misalnya Pulau Jawa yang sangat kental dengan ramuan jamu dari rempah-rempah seperti jahe, temulawak, sambiloto, kunyit, dan lainnya. Semua rempah tersebut telah menjadi kebutuhan masyarakat mulai dari masa kehamilan, bayi, balita, remaja, sampai usia dewasa.

Di Sumatera, banyak diproduksi aneka minyak gosok dari tanaman lokal. Senada dengan itu, Pulau Bali juga memiliki banyak jamu serta berbagai minyak aromaterapi, minyak balur, lulur tradisional, boreh, minumah loloh, dan sebagainya. Sedangkan, Papua mengenal aneka tanaman obat seperti buah merah, sarang semut, atau rimpang Papua (empon-empon).

(Baca juga:Hasil Jualan Jamu Meningkat, Laba Bersih Sido Muncul Naik 21%)

Kekayaan kearifan lokal Indonesia juga didukung data Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2017 yaitu tercatat 23.000 ramuan pengobatan tradisional dan didukung oleh 2.848 spesies tumbuhan yang sudah teridentifikasi sebagai tumbuhan obat tradisional.

“Kita tahu bahwa jamu adalah salah satu transformasi nilai tambah rempah untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ditambah, aspek positif back to nature pada kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan ledakan permintaan masyarakat pada jamu. Melihat kecenderungan peningkatan kebutuhan yang terjadi di seluruh dunia, tentu kita menangkap potensi ekspornya,” lanjut Reri.

Akademisi dari Fakultas Farmasi UGM Prof Suwijiyo Pramono membenarkan bahwa data empiris adalah bukti dari keamanan jamu nusantara. Menurutnya, empiris mengandung pengertian antara lain digunakan lebih dari tiga generasi, telah digunakan masyarakat selama lebih 50 tahun (WHO), dan tercantum dalam buku-buku kuno tentang obat tradisional seperti Primbon Serat Jampi Jawi, buku Heyne, Serat Centini, Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang, Obat Asli Indonesia, Buku Kloppenburg, Usada Bali.

(Baca juga:Bantu Lawan Covid-19, Ranny Zarman Bawa Jamu Vermint hingga ke Timur Tengah)

“Banyak ramuan telah terdaftar di BPOM sejak 1977. Artinya sekitar 44 tahun atau lebih dari 30 tahun. Jadi tinggal melakukan inovasi,” katanya.

Sementara itu, pakar etnomedisin dari UKI Prof Marina Silalahi telah meneliti potensi jamu dari wilayah Sumatera. Dia mengakui tanaman obat dan ramuan dari Sumatera belum memiliki bukti-bukti ilmiah yang memadai seperti ramuan dari Pulau Jawa.

“Pengemasan, bukti ilmiah belum semaju di Jawa. Oleh karena itu butuh sinergi antara akademisi, masyarakat, maupun pengambil kebijakan sehingga ada hilirisasi dari jamu-jamu di luar Jawa bisa bersaing dengan jamu di Jawa karena penghasilan dari jamu ini menjadi salah satu sumber perekonomian masyarakat,” kata Marina.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More