BPOM Dorong Pengumpulan Bukti Empiris Khasiat Jamu Nusantara

Jum'at, 10 September 2021 - 02:49 WIB
loading...
BPOM Dorong Pengumpulan Bukti Empiris Khasiat Jamu Nusantara
Webinar bertajuk Mengenal Jamu Nusantara: Ekspolorasi Obat Tradisional Berbahan Alami Indonesia.
A A A
JAKARTA - Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia termasuk memiliki beragam ramuan jamu dan tanaman obat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sayangnya, pengenalan masyarakat akan jamu masih terbatas dari Pulau Jawa. Padahal setiap daerah di nusantara memiliki kearifan lokal (traditional knowledge) masing-masing sebagai alternatif pengobatan alami.

Kearifan lokal dalam rangka pengobatan berdasarkan etnis atau budaya masyarakat yang dikenal sebagai etnomedisin, perlu untuk dijaga dan dilestarikan. Itu sebabnya, penting untuk melakukan pengumpulan atau dokumentasi bukti empiris atas khasiat jamu nusantara.

Hal itu disampaikan oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Reri Indriani dalam webinar bertajuk Mengenal Jamu Nusantara: Ekspolorasi Obat Tradisional Berbahan Alami Indonesia.

(Baca juga:Terkena PHK Akibat Pandemi COVID-19, Pramugari Cantik Jadi Penjual Jamu)

“Dokumentasi ramuan etnomedisin adalah hal penting sebagai data bukti keamanan jamu nusantara secara empiris. Kelemahan dari keanekaragaman sumber daya alam adalah dokumentasi atau pembuktian empiris,” kata Reri.

Reri menjelaskan BPOM ingin mengawal potensi kearifan lokal setiap daerah di Indonesia. Di sisi lain, BPOM juga memiliki tanggungjawab kepada masyarakat untuk menjamin keamanan produk obat dan makanan.

Dia mengatakan webinar tentang jamu nusantara hari ini adalah bagian dari rangkaian napak tilas jejak empiris obat tradisional yang diinisasi BPOM untuk mendapatkan data dukung empiris atau bukti keamanan jamu nusantara. “Kami kadang-kadang dilematis di BPOM, kadang UMKM mendaftarkan produk dengan klaim memelihara kesehatan pencernaan, tetapi setelah kami telusuri ternyata data dukung empiris tidak ada. Padahal di wilayah tertentu, ramuan tersebut sudah sangat dikenal, digunakan, dan dipercaya masyarakat,” kata Reri.

(Baca juga:Industri Jamu Diprediksi Tumbuh Hingga 20 Persen di Masa Pandemi COVID-19)

Reri mengatakan BPOM mulai awal 2021 fokus mengumpulkan berbagai dokumen empiris dari kearifan lokal Indonesia lewat seluruh 33 balai dan 40 loka. Dari hasil penelusuran, setiap wilayah di Indonesia memiliki kekhasan kearifan lokal.

Misalnya Pulau Jawa yang sangat kental dengan ramuan jamu dari rempah-rempah seperti jahe, temulawak, sambiloto, kunyit, dan lainnya. Semua rempah tersebut telah menjadi kebutuhan masyarakat mulai dari masa kehamilan, bayi, balita, remaja, sampai usia dewasa.

Di Sumatera, banyak diproduksi aneka minyak gosok dari tanaman lokal. Senada dengan itu, Pulau Bali juga memiliki banyak jamu serta berbagai minyak aromaterapi, minyak balur, lulur tradisional, boreh, minumah loloh, dan sebagainya. Sedangkan, Papua mengenal aneka tanaman obat seperti buah merah, sarang semut, atau rimpang Papua (empon-empon).

(Baca juga:Hasil Jualan Jamu Meningkat, Laba Bersih Sido Muncul Naik 21%)

Kekayaan kearifan lokal Indonesia juga didukung data Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2017 yaitu tercatat 23.000 ramuan pengobatan tradisional dan didukung oleh 2.848 spesies tumbuhan yang sudah teridentifikasi sebagai tumbuhan obat tradisional.

“Kita tahu bahwa jamu adalah salah satu transformasi nilai tambah rempah untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ditambah, aspek positif back to nature pada kondisi pandemi Covid-19 menyebabkan ledakan permintaan masyarakat pada jamu. Melihat kecenderungan peningkatan kebutuhan yang terjadi di seluruh dunia, tentu kita menangkap potensi ekspornya,” lanjut Reri.

Akademisi dari Fakultas Farmasi UGM Prof Suwijiyo Pramono membenarkan bahwa data empiris adalah bukti dari keamanan jamu nusantara. Menurutnya, empiris mengandung pengertian antara lain digunakan lebih dari tiga generasi, telah digunakan masyarakat selama lebih 50 tahun (WHO), dan tercantum dalam buku-buku kuno tentang obat tradisional seperti Primbon Serat Jampi Jawi, buku Heyne, Serat Centini, Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang, Obat Asli Indonesia, Buku Kloppenburg, Usada Bali.

(Baca juga:Bantu Lawan Covid-19, Ranny Zarman Bawa Jamu Vermint hingga ke Timur Tengah)

“Banyak ramuan telah terdaftar di BPOM sejak 1977. Artinya sekitar 44 tahun atau lebih dari 30 tahun. Jadi tinggal melakukan inovasi,” katanya.

Sementara itu, pakar etnomedisin dari UKI Prof Marina Silalahi telah meneliti potensi jamu dari wilayah Sumatera. Dia mengakui tanaman obat dan ramuan dari Sumatera belum memiliki bukti-bukti ilmiah yang memadai seperti ramuan dari Pulau Jawa.

“Pengemasan, bukti ilmiah belum semaju di Jawa. Oleh karena itu butuh sinergi antara akademisi, masyarakat, maupun pengambil kebijakan sehingga ada hilirisasi dari jamu-jamu di luar Jawa bisa bersaing dengan jamu di Jawa karena penghasilan dari jamu ini menjadi salah satu sumber perekonomian masyarakat,” kata Marina.

Marina melakukan riset di tiga pasar di Sumatera Utara yaitu Pasar Kabanjahe, Pasar Berastagi, dan Pasar Pancur Batu. Dari ketiga pasar tersebut menemukan beragam jenis tanaman obat dan jamu seperti tawar, minyak gosok, parem, rempah-rempah untuk sauna tradisional (oukup), dan minuman kesehatan (rum-rumen) yang terdiri dari bawang batak, rumbane, tulasih, terbangun rata, kumangi, dan sereh.

“Ketika pengobatan modern dianggap tidak mampu, saat sakit parah mereka kembali mencari bahan alam,” kata Marina.

Senada dengan itu, akademisi dari FMIPA dan Gizi Uncen Papua Dr I Made Budi mengatakan Papua memiliki kekayaan bahan baku obat herbal seperti buah merah, crocodile oil, sarang semut, daun gatal, sengiber, daun sampare, coklat, dan daun jilat.

Berdasarkan survei, 75% masyarakat Papua masih memanfaatkan jamu atau herbal khas Papua dibandingkan obat farmasi. “Herbal Papua perlu dikembangkan secara mendalam dengan kajian ilmiah untuk mencapai mutu, kualitas, dan keamanan,” kata I Made Budi.

Artis Darius Sinathrya mengaku sejak kecil sudah akrab dengan produk jamu meskipun ibunya bukan asli warga negara Indonesia. Di tengah situasi pandemi saat ini, Darius menyadari potensi jamu semakin besar karena tren masyarakat back to nature (kembali ke alam).

(Baca juga:Dosen IPB Kembangkan Aplikasi untuk Prediksi Formula Jamu yang Mutakhir)

“Ibu saya walaupun bukan orang asli Indonesia tapi dia belajar berbagai macam kuliner temasuk mengolah jamu. Waktu kecil saya suka dibikinin brotowali, kunyit asem dan beras kencur. Sekarang ada lebih praktis lagi karena inovasi teknologi dalam bentuk kapsul sehingga kita bisa mengonsumsi setiap hari,” ujarnya.

Darius mengatakan jamu atau herbal bisa menjadi the new espreso. Apalagi dengan kreativitas penjual jamu modern saat ini yang mengemasnya sebagai jamu kekinian. “Jamu, herbal bisa menjadi the new espreso. Pagi-pagi orang biasanya ngopi, tapi ini kita dorong supaya bagaimana generasi muda mau minum jamu,” ujarnya.

Darius mengaku memiliki keluhan masalah pencernaan karena sering terlambat makan karena kesibukan. Oleh karena itu, dia mengatasi dengan rutin minum kunyit dalam bentuk kapsul lunak.

“Pasti kita menjaga pola hidup sehat dengan suplemen yang natural, ya itu jamu. Saya mengonsumsi kunyit dalam bentuk soft capsule. Pekerjaan membuat waktu makan telat, kepikiran pekerjaan besok, akhirnya lari ke perut, maag,” katanya.

Puteri Indonesia Lingkungan 2020 asal Bali, Putu Ayu Saraswati juga telah mengenal jamu sejak kecil yaitu biasa mengonsumsi seduhan jahe merah. Dia juga menyukai ramuan asal Bali bernama loloh cemcem.

Dia mengatakan daun loloh bisa dipakai untuk menurunkan suhu tubuh. “Bali identik dengan udara panas, terik matahari. Ini jamu luar biasa dan membantu cooling down, membuat tubuh adem,” kata Putu.
(dar)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1666 seconds (0.1#10.140)