PHRI: Bonus Pekerja di Omnibus Law Bakal Bebani Perusahaan
Rabu, 10 Juni 2020 - 19:34 WIB
PHRI pun meminta pemerintah dan DPR tidak hanya mengambil kebijakan populis, namun lebih mengarahkannya kepada penciptaan daya saing dan investasi. Peningkatan upah/kompensasi yang tinggi dan berlebihan dinilai akan sia-sia karena dapat berpengaruh langsung pada investasi. Sebab, penciptaan lapangan kerja tetap tidak akan terjadi.
Menurut Maulana, jika pemberi kerja masih dibebani dengan kewajiban bonus pekerja, potensi perusahaan merekrut tenaga kerja baru akan berkurang. Biaya ketenagakerjaan pun menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, hal ini akan mengurangi minat pemodal untuk berinvestasi di Indonesia.
"Kalau begini daya saing jadi berkurang, dan perusahaan banyak yang tutup. Jadi pemutusan hubungan kerja bisa jadi lebih besar," katanya.
Padahal, saat ini angka pengangguran di Indonesia cukup besar. Data Badan Pusat Statistik mencatat tingkat pengangguran terbuka per Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang atau 4,99% dari total angkatan kerja (usia 15-64 tahun) sebesar 137,91 juta orang.
Angka ini dipastikan akan bertambah seiring merebaknya wabah Coronavirus Disease (Covid-19). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahkan memprediksi akan ada tambahan 4,22 juta orang pengangguran setelah dirumahkan atau terkena PHK karena tempatnya bekerja terimbas wabah.
Maulana mengatakan PHRI berharap pemerintah bisa mencari titik tengah dalam kebijakan ini dengan mengutamakan solusi untuk pertumbuhan bisnis, penyerapan tenaga kerja yang maksimal, dan jaminan kesehatan dan sosial bagi pekerja, terutama bagi industri padat karya. Pelaku usaha yang bertahan menjaga angka pegawainya membutuhkan dukungan dari pemerintah menjalani masa sulit ini bukannya memberikan beban tambahan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dilakukan untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal. Hal ini kemudian direspons positif sejumlah pihak apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi krisis akibat penyebaran Covid-19.
Menurut Maulana, jika pemberi kerja masih dibebani dengan kewajiban bonus pekerja, potensi perusahaan merekrut tenaga kerja baru akan berkurang. Biaya ketenagakerjaan pun menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, hal ini akan mengurangi minat pemodal untuk berinvestasi di Indonesia.
"Kalau begini daya saing jadi berkurang, dan perusahaan banyak yang tutup. Jadi pemutusan hubungan kerja bisa jadi lebih besar," katanya.
Padahal, saat ini angka pengangguran di Indonesia cukup besar. Data Badan Pusat Statistik mencatat tingkat pengangguran terbuka per Februari 2020 mencapai 6,88 juta orang atau 4,99% dari total angkatan kerja (usia 15-64 tahun) sebesar 137,91 juta orang.
Angka ini dipastikan akan bertambah seiring merebaknya wabah Coronavirus Disease (Covid-19). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahkan memprediksi akan ada tambahan 4,22 juta orang pengangguran setelah dirumahkan atau terkena PHK karena tempatnya bekerja terimbas wabah.
Maulana mengatakan PHRI berharap pemerintah bisa mencari titik tengah dalam kebijakan ini dengan mengutamakan solusi untuk pertumbuhan bisnis, penyerapan tenaga kerja yang maksimal, dan jaminan kesehatan dan sosial bagi pekerja, terutama bagi industri padat karya. Pelaku usaha yang bertahan menjaga angka pegawainya membutuhkan dukungan dari pemerintah menjalani masa sulit ini bukannya memberikan beban tambahan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dilakukan untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal. Hal ini kemudian direspons positif sejumlah pihak apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi krisis akibat penyebaran Covid-19.
(fjo)
tulis komentar anda