Minyak Goreng Murah Raib di Pasaran, Kebijakan Satu Harga dan HET Dinilai Belum Matang
Selasa, 08 Februari 2022 - 18:47 WIB
JAKARTA - Kebijakan mengatasi kenaikan harga minyak goreng menurut Pengamat ekonomi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, belum matang. Menurutnya kebijakan yang dibuat Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi terkesan terburu-buru dan justru menimbulkan polemik baru di masyarakat.
“Kalau arahan minyak goreng satu harga ke Rp14.000, terus ke Rp11.500, arahan itu sangat jelas di telinga konsumen, tapi arahan itu justru jadi polemik sekarang di tengah masyarakat karena stoknya tidak ada. Jadi memang kalau saya berkesimpulan, kebijakan yang diambil oleh Menteri Perdagangan ini tidak matang,” ujar Gunawan saat dihubungi wartawan, Selasa (8/2/2022).
Lebih lanjut Ia menjelaskan, kebijakan Mendag yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng mendapatkan keluhan tidak hanya di level konsumen tapi juga di level pedagang terutama pedagang di pasar tradisional.
Pedagang kata dia, mendapatkan keluhan dari konsumen yang merasa minyak goreng murah yang seharusnya sudah satu harga sesuai arahan Mendag, tapi di lapangan pedagang masih harus menjual stok minyak goreng yang ia beli dengan harga di atas HET.
“Nah ini sebenarnya yang harus diselesiakan, karena memang kalau dikatakan kebijakan ini tidak efektif, saya tidak tahu ini upaya apa yang tengah dilakukan oleh menteri perdagangan untuk menstabilkan harga. Saya nggak paham benar, tetapi di lapangan memang kebijakan ini belum efektif sama sekali untuk meredam gejolak harga minyak goreng,” jelasnya.
Senada dengan Gunawan, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, kebijakan Mendag mengatasi persoalan minyak goreng minim persiapan. Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Mendag harus mampu menguasai jalur distribusi untuk memastikan kebijakan yang dibuat bisa berjalan di lapangan.
“Begini ya utamanya persiapannya sangat minim, karena dalam upaya ini yang diperlukan sekali itu adalah pemerintah bisa menguasai distribusinya, masalahnya pemerintah tidak memiliki distribusi itu,” ujar Piter.
“Jadi dengan penetapan harga jauh dari harga pasar tersebut, maka potensi untuk penyimpangan-penyimpangan pasti banyak terjadi, akan ada penumpukan, penyelundupan itu akan banyak; karena untuk keuntungan, pengusaha akan mencari keuntungan yang lebih besar. Jadi selama pemerintah tidak menguasi distribusinya ini kondisinya akan terus terjadi,” pungkasnya.
“Kalau arahan minyak goreng satu harga ke Rp14.000, terus ke Rp11.500, arahan itu sangat jelas di telinga konsumen, tapi arahan itu justru jadi polemik sekarang di tengah masyarakat karena stoknya tidak ada. Jadi memang kalau saya berkesimpulan, kebijakan yang diambil oleh Menteri Perdagangan ini tidak matang,” ujar Gunawan saat dihubungi wartawan, Selasa (8/2/2022).
Baca Juga
Lebih lanjut Ia menjelaskan, kebijakan Mendag yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng mendapatkan keluhan tidak hanya di level konsumen tapi juga di level pedagang terutama pedagang di pasar tradisional.
Pedagang kata dia, mendapatkan keluhan dari konsumen yang merasa minyak goreng murah yang seharusnya sudah satu harga sesuai arahan Mendag, tapi di lapangan pedagang masih harus menjual stok minyak goreng yang ia beli dengan harga di atas HET.
“Nah ini sebenarnya yang harus diselesiakan, karena memang kalau dikatakan kebijakan ini tidak efektif, saya tidak tahu ini upaya apa yang tengah dilakukan oleh menteri perdagangan untuk menstabilkan harga. Saya nggak paham benar, tetapi di lapangan memang kebijakan ini belum efektif sama sekali untuk meredam gejolak harga minyak goreng,” jelasnya.
Baca Juga
Senada dengan Gunawan, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, kebijakan Mendag mengatasi persoalan minyak goreng minim persiapan. Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Mendag harus mampu menguasai jalur distribusi untuk memastikan kebijakan yang dibuat bisa berjalan di lapangan.
“Begini ya utamanya persiapannya sangat minim, karena dalam upaya ini yang diperlukan sekali itu adalah pemerintah bisa menguasai distribusinya, masalahnya pemerintah tidak memiliki distribusi itu,” ujar Piter.
“Jadi dengan penetapan harga jauh dari harga pasar tersebut, maka potensi untuk penyimpangan-penyimpangan pasti banyak terjadi, akan ada penumpukan, penyelundupan itu akan banyak; karena untuk keuntungan, pengusaha akan mencari keuntungan yang lebih besar. Jadi selama pemerintah tidak menguasi distribusinya ini kondisinya akan terus terjadi,” pungkasnya.
(akr)
tulis komentar anda