Jejak Miliarder Teknologi Asal Indonesia, Otto Toto Sugiri Punya Kekayaan Rp35,77 Triliun

Jum'at, 11 Februari 2022 - 17:14 WIB
Dia kemudian tinggal di Indonesia untuk melakukan berbagai pemrograman lokal, seperti menulis perangkat lunak rekayasa untuk perusahaan minyak atau program untuk mengelola pencairan pinjaman kepada nelayan di Papua untuk sebuah badan PBB. Pada tahun 1983, Sugiri bergabung dengan Bank Bali, yang kemudian dimiliki oleh pamannya, Djaja Ramli. (Bank Bali kemudian bergabung dengan Permata Bank, yang kemudian dibeli oleh Bangkok Bank.)

“Kami mengembangkan sistem IT bank, dari back office hingga akuntansi. Saya bekerja dengan departemen yang berbeda untuk membuat perangkat lunak agar pekerjaan lebih efisien. Salah satu keberhasilan yang saya ingat adalah staf akuntansi bisa pulang sebelum matahari terbenam. Sebelumnya mereka bekerja hingga hampir tengah malam mengerjakan pembukuan manual,” kata Sugiri.

Dia pergi untuk memulai perusahaan perangkat lunaknya sendiri, Sigma Cipta Caraka pada tahun 1989 dengan modal USD200.000 —cukup untuk membayar gaji dan sewa sepuluh bulan. Ia bergabung dengan enam mantan pegawai Bank Bali, termasuk Marina Budiman, yang kini menjabat sebagai presiden komisaris DCI.

Itu adalah waktu yang tepat. Pemerintah baru saja menderegulasi industri perbankan, dan jumlah bank melonjak dari 111 pada 1988 menjadi 240 pada 1994. Bank-bank baru ini membutuhkan dukungan TI, dan Sigma segera memesan klien pertamanya. Hal itu menguntungkan dalam tahun pertama, dengan pendapatan USD1,2 juta.

Sementara Sigma menjadi distributor untuk IBM, penghasil pendapatan utama perusahaan segera menjadi miliknya sendiri. Pesaing utamanya adalah Multipolar, yang dimiliki oleh grup Lippo milik Mochtar Riady. Tetapi Multipolar hanya menjual perangkat lunak impor yang mahal, sedangkan Sugiri menawarkan perangkat lunak lebih murah yang telah diprogramnya bersama timnya untuk kondisi pasar lokal.

Lalu seorang teman mendekati Sugiri dengan ide untuk memulai penyedia layanan internet pertama di Indonesia. Pasangan ini awalnya hanya ingin memberi siswa Indonesia cara yang lebih murah dan lebih cepat untuk mengakses materi pembelajaran yang diimpor.

“Buku mahal waktu itu dan butuh waktu untuk sampai ke Indonesia,” katanya. Pada tahun 1994, mereka meluncurkan Indointernet, memberikan tidak hanya pelajar tetapi semua orang Indonesia kesempatan untuk menjelajahi web di seluruh dunia untuk pertama kalinya.

Sigma masih kuat. Sejak Sugiri menjalankan bisnisnya tanpa hutang, ia berhasil bertahan dari krisis keuangan Asia, dan pada puncaknya, Sigma dilaporkan menghasilkan pendapatan sekitar USD21 juta dan memiliki 50 klien bank termasuk ABN Amro dan Bank of Tokyo. Sugiri juga mulai mencoba-coba pusat data, mengoperasikan dua di antaranya.

Pada tahun 2008, Sugiri menjual 80% kepemilikan di Sigma ke perusahaan telekomunikasi terbesar di negara itu, Telekomunikasi Indonesia (Telkom), seharga USD35 juta. Telkom mempermanis kesepakatan dengan mengatakan akan membantu Sugiri menuju perusahaan publik. Ketika listing itu tidak terwujud, Sugiri dua tahun kemudian menjual sisa sahamnya seharga USD9 juta dan berpikir untuk pensiun.

Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More