Regulasi Lemah, Baja Impor Akan Intensif Serbu Pasar Domestik
Selasa, 23 Juni 2020 - 16:12 WIB
JAKARTA - Penguatan industri baja nasional membutuhkan standardisasi dan integrasi dari hulu ke hilir. Keduanya dibutuhkan demi melindungi pasar domestik dari banjir baja impor yang diperkirakan intensif masuk pada Juli tahun ini. Impor diperkirakan akan naik karena rendahnya permintaan baja secara global dan regulasi di Indonesia memiliki kelemahan pembatasan impor baja.
Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk Silmy Karim mengatakan, perseroan dan asosiasi industri baja terus mendorong baja nasional bisa merajai pasar dalam negeri. Saat ini, menurutnya, industri baja domestik sebenarnya telah memiliki kapasitas hingga 95% dari kebutuhan pasar nasional. Namun, ramainya baja impor membuat produksi tertahan di kisaran 50%.
"Kami di hulu sudah melakukan pembenahan dan masih ada ruang efisiensi sebesar 25%. Setidaknya bisa tambah efisiensi 20% dikejar tahun ini. Namun pemerintah juga penting menerapkan standardisasi atau SNI baja untuk melindungi pasar baja nasional," ujar Silmy dalam wawancaranya di IDX Channel hari ini di Jakarta.
Selanjutnya dia menilai juga dibutuhkan pengaturan untuk sektor hilir seperti standardisasi baja. Ini penting bagi pelaku UKM yang menghasilkan produk, seperti baja ringan. Standardisasi harus dilakukan karena negara lain juga melindungi pasar domestik mereka. Selain itu perlindungan konsumen juga turut membutuhkan aturan SNI.
"Pemerintah jangan meremehkan pelaku UKM dan perlindungan konsumen. Soal standardisasi baja harus segera diwujudkan sehingga kualitasnya terjaga," ujarnya. ( Baca:SOS Industri Baja: Permintaan Anjlok 50%, Modal Kerja Makin Tipis )
Dia juga mengaku pada kuartal II 2020 ini, dampak Covid-19 sudah terasa dibandingkan kuartal pertama. Menurutnya, ada beberapa faktor, seperti kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah berdampak pada terganggunya distribusi barang. Kemudian beberapa industri juga sudah mulai berhenti beroperasi. Karena produk baja bukan hanya untuk proyek infrastruktur saja, melainkan juga bergantung pada industri lain.
"Baja itu mother of industry yang sangat tergantung pada kondisi industri lain. Seperti otomotif, baja ringan, atap termasuk juga galangan kapal, minyak dan gas," jelasnya.
Namun beruntung beberapa anak usaha dari Krakatau Steel berhasil memberikan kontribusi yang cukup besar. Sehingga, kinerja keuangan perseroan tidak jatuh terlalu dalam.
"Kita berusaha kejar efisiensi tutup pengeluaran. Lalu ada anak usaha pelabuhan yang kinerjanya bagus. Bisnis bajanya terdampak, tapi pelabuhan kita untungnya lebih besar. Hari ini ini terminal tercepat dan terbesar bahkan sudah dilakukan otomatisasi," ujarnya.
Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk Silmy Karim mengatakan, perseroan dan asosiasi industri baja terus mendorong baja nasional bisa merajai pasar dalam negeri. Saat ini, menurutnya, industri baja domestik sebenarnya telah memiliki kapasitas hingga 95% dari kebutuhan pasar nasional. Namun, ramainya baja impor membuat produksi tertahan di kisaran 50%.
"Kami di hulu sudah melakukan pembenahan dan masih ada ruang efisiensi sebesar 25%. Setidaknya bisa tambah efisiensi 20% dikejar tahun ini. Namun pemerintah juga penting menerapkan standardisasi atau SNI baja untuk melindungi pasar baja nasional," ujar Silmy dalam wawancaranya di IDX Channel hari ini di Jakarta.
Selanjutnya dia menilai juga dibutuhkan pengaturan untuk sektor hilir seperti standardisasi baja. Ini penting bagi pelaku UKM yang menghasilkan produk, seperti baja ringan. Standardisasi harus dilakukan karena negara lain juga melindungi pasar domestik mereka. Selain itu perlindungan konsumen juga turut membutuhkan aturan SNI.
"Pemerintah jangan meremehkan pelaku UKM dan perlindungan konsumen. Soal standardisasi baja harus segera diwujudkan sehingga kualitasnya terjaga," ujarnya. ( Baca:SOS Industri Baja: Permintaan Anjlok 50%, Modal Kerja Makin Tipis )
Dia juga mengaku pada kuartal II 2020 ini, dampak Covid-19 sudah terasa dibandingkan kuartal pertama. Menurutnya, ada beberapa faktor, seperti kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah berdampak pada terganggunya distribusi barang. Kemudian beberapa industri juga sudah mulai berhenti beroperasi. Karena produk baja bukan hanya untuk proyek infrastruktur saja, melainkan juga bergantung pada industri lain.
"Baja itu mother of industry yang sangat tergantung pada kondisi industri lain. Seperti otomotif, baja ringan, atap termasuk juga galangan kapal, minyak dan gas," jelasnya.
Namun beruntung beberapa anak usaha dari Krakatau Steel berhasil memberikan kontribusi yang cukup besar. Sehingga, kinerja keuangan perseroan tidak jatuh terlalu dalam.
"Kita berusaha kejar efisiensi tutup pengeluaran. Lalu ada anak usaha pelabuhan yang kinerjanya bagus. Bisnis bajanya terdampak, tapi pelabuhan kita untungnya lebih besar. Hari ini ini terminal tercepat dan terbesar bahkan sudah dilakukan otomatisasi," ujarnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda