Ekonom Ingatkan 3 Risiko Kenaikan Inflasi di Eropa Terhadap Ekonomi RI
Rabu, 20 Juli 2022 - 08:34 WIB
JAKARTA - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan tiga risiko yang perlu diwaspadai Indonesia sehubungan naiknya inflasi tahunan di kawasan Eropa.
Dampak pertama menurutnya adalah inflasi akan membuat tekanan pada sisi permintaan ekspor produk Indonesia baik komoditas maupun produk olahan.
"Konsumen di Eropa akan mengurangi pembelian barang impor dan cenderung lebih banyak berhemat akibat pelemahan daya beli," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia (MPI), dikutip Rabu (20/7/2022).
Dia menambahkan, dampak yang kedua adalah transmisi di pasar keuangan perlu dicermati karena investor akan beralih ke aset yang lebih aman menghindari risiko stagflasi dan resesi di kawasan Eropa. "Aset seperti dolar AS akan diincar sebagai safe haven dan ini akan memukul stabilitas kurs rupiah," jelasnya.
Sedangkan dampak yang ketiga adalah inflasi yang tinggi akan direspons oleh Bank Sentral Eropa (ECB) dengan kenaikan tingkat suku bunga yang tajam sehingga berdampak pada semakin cepatnya Bank Indonesia (BI) menyesuaiakan tingkat suku bunga acuan.
"Cost of fund pelaku usaha dan masyarakat umum dalam melakukan pinjaman akan naik dan hambat ekspansi usaha," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, inflasi tahunan di kawasan Eropa mencatatkan rekor tertinggi ke angka 8,6% per Juni 2022. Lebih dari separuh inflasi tersebut disumbang oleh lonjakan harga energi.
Mengutip data Eurostat, Selasa (19/7), pada bulan Juni, kontribusi tertinggi terhadap tingkat inflasi tahunan di kawasan Benua Biru berasal dari energi (+4,19 poin persentase/pp), diikuti oleh makanan, alkohol & tembakau (+1,88 pp), jasa (+1,42 pp) dan barang industri non-energi (+1,15 pp).
Negara dengan tingkat inflasi tahunan Juni tertinggi di zona euro adalah Estonia di mana harga melonjak 22% pada bulan Juni. Nama lainnya, Lithuania mencatatkan inflasi 20,5%, Latvia 19,2% dan Slovakia 12,6%.
Sementara, pertumbuhan inflasi terendah terjadi di Malta sebesar 6,1%, Prancis 6,5% dan Finlandia dengan 8,1%. Adapun, tingkat inflasi Jerman adalah 8,2%.
Dampak pertama menurutnya adalah inflasi akan membuat tekanan pada sisi permintaan ekspor produk Indonesia baik komoditas maupun produk olahan.
"Konsumen di Eropa akan mengurangi pembelian barang impor dan cenderung lebih banyak berhemat akibat pelemahan daya beli," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia (MPI), dikutip Rabu (20/7/2022).
Dia menambahkan, dampak yang kedua adalah transmisi di pasar keuangan perlu dicermati karena investor akan beralih ke aset yang lebih aman menghindari risiko stagflasi dan resesi di kawasan Eropa. "Aset seperti dolar AS akan diincar sebagai safe haven dan ini akan memukul stabilitas kurs rupiah," jelasnya.
Sedangkan dampak yang ketiga adalah inflasi yang tinggi akan direspons oleh Bank Sentral Eropa (ECB) dengan kenaikan tingkat suku bunga yang tajam sehingga berdampak pada semakin cepatnya Bank Indonesia (BI) menyesuaiakan tingkat suku bunga acuan.
"Cost of fund pelaku usaha dan masyarakat umum dalam melakukan pinjaman akan naik dan hambat ekspansi usaha," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, inflasi tahunan di kawasan Eropa mencatatkan rekor tertinggi ke angka 8,6% per Juni 2022. Lebih dari separuh inflasi tersebut disumbang oleh lonjakan harga energi.
Mengutip data Eurostat, Selasa (19/7), pada bulan Juni, kontribusi tertinggi terhadap tingkat inflasi tahunan di kawasan Benua Biru berasal dari energi (+4,19 poin persentase/pp), diikuti oleh makanan, alkohol & tembakau (+1,88 pp), jasa (+1,42 pp) dan barang industri non-energi (+1,15 pp).
Negara dengan tingkat inflasi tahunan Juni tertinggi di zona euro adalah Estonia di mana harga melonjak 22% pada bulan Juni. Nama lainnya, Lithuania mencatatkan inflasi 20,5%, Latvia 19,2% dan Slovakia 12,6%.
Sementara, pertumbuhan inflasi terendah terjadi di Malta sebesar 6,1%, Prancis 6,5% dan Finlandia dengan 8,1%. Adapun, tingkat inflasi Jerman adalah 8,2%.
(ind)
tulis komentar anda