Asosiasi Tuna Indonesia Sebut Penangkapan Ikan Terukur Tak Sesuai UU
Senin, 25 Juli 2022 - 16:51 WIB
JAKARTA - Pengurus Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Bilahmar menilai program penangkapan ikan terukur tidak sesuai dengan UU Perikanan . Menurutnya, istilah penangkapan ikan terukur tidak matching dengan aturan yang ada.
"Yang matching sebenarnya kalo kita bicara kuota di undang-undang, itu identik dengan alokasi," ujarnya dalam Forum Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) tahun 2022 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (25/7/2022).
Menurutnya, dalam program penangkapan terukur berbasis kuota tersebut satuannya adalah kuota, sedangkan dalam alokasi menggunakan satuan GT (ukuran kapal). Dia menjelaskan bahwa kuota penangkapan ikan bukan sesuatu yang baru bagi pelaku usaha ikan tuna, sebab penangkapan tersebut sudah dijalankan sejak 2010 terhadap penangkapan ikan tuna sirip biru selatan (SBT).
Sedangkan, keputusan menteri KP soal produktivitas kapal ikan yang merupakan turunan PP No. 85 Tahun 2021 justru dapat merusak kuota penangkapan ikan tuna sirip biru selatan dan tidak mengandung asas keadilan.
"Yang repot ini permen (peraturan menteri) yang merusak kuota, orang di barat Sumatra tidak menangkap ikan tuna sirip biru tetapi bayar biaya penangkapan," katanya.
Selanjutnya, Muhammad Bilahmar menjelaskan bahwa saat ini terdapat beberapa keraguan yang dirasakan oleh para pengusaha, yakni tiga opsi cara penarikan PNBP yang membingungkan, tarif PNBP masih terlalu tinggi, adanya pungutan yang tumpang tindih, kebijakan yang berubah-ubah setiap pergantian menteri, dan sanksi administrasi yang memberatkan.
"Ketika pengusaha ingin masuk untuk investasi ataupun sejenisnya tidak berani, entar sudah masuk modal berubah ganti menteri dan ganti aturan lagi," ucapnya.
Muhammad Bilahmar berharap adanya revisi PP 85 Tahun 2021 tentang jenis dan tarif atas PNBP yang berlaku pada KKP. Khusus untuk perikanan tangkap yang perlu direvisi adalah koefisien skala usaha dan cara penarikan PNBP.
"Yang matching sebenarnya kalo kita bicara kuota di undang-undang, itu identik dengan alokasi," ujarnya dalam Forum Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) tahun 2022 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (25/7/2022).
Menurutnya, dalam program penangkapan terukur berbasis kuota tersebut satuannya adalah kuota, sedangkan dalam alokasi menggunakan satuan GT (ukuran kapal). Dia menjelaskan bahwa kuota penangkapan ikan bukan sesuatu yang baru bagi pelaku usaha ikan tuna, sebab penangkapan tersebut sudah dijalankan sejak 2010 terhadap penangkapan ikan tuna sirip biru selatan (SBT).
Sedangkan, keputusan menteri KP soal produktivitas kapal ikan yang merupakan turunan PP No. 85 Tahun 2021 justru dapat merusak kuota penangkapan ikan tuna sirip biru selatan dan tidak mengandung asas keadilan.
"Yang repot ini permen (peraturan menteri) yang merusak kuota, orang di barat Sumatra tidak menangkap ikan tuna sirip biru tetapi bayar biaya penangkapan," katanya.
Selanjutnya, Muhammad Bilahmar menjelaskan bahwa saat ini terdapat beberapa keraguan yang dirasakan oleh para pengusaha, yakni tiga opsi cara penarikan PNBP yang membingungkan, tarif PNBP masih terlalu tinggi, adanya pungutan yang tumpang tindih, kebijakan yang berubah-ubah setiap pergantian menteri, dan sanksi administrasi yang memberatkan.
"Ketika pengusaha ingin masuk untuk investasi ataupun sejenisnya tidak berani, entar sudah masuk modal berubah ganti menteri dan ganti aturan lagi," ucapnya.
Muhammad Bilahmar berharap adanya revisi PP 85 Tahun 2021 tentang jenis dan tarif atas PNBP yang berlaku pada KKP. Khusus untuk perikanan tangkap yang perlu direvisi adalah koefisien skala usaha dan cara penarikan PNBP.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda