Tak Ikuti Tren Global, RI Harusnya Tinggalkan BBM Oktan Rendah
Kamis, 02 Juli 2020 - 12:33 WIB
"Polusi udara masih tinggi, sebab banyak kendaraan masih mengonsumsi BBM yang memiliki oktan rendah," katanya.
Karena itu, Tulus mengatakan bahwa semua pihak baik pemerintah pusat dan daerah perlu satu suara dalam kebijakan menghilangkan premium. Penghapusan BBM yang tidak ramah lingkungan seperti premium, juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana Perjanjian Paris (Paris Protokol), yang telah diratifikasi. Pengurangan emisi karbon antara 29-40% akan sulit tercapai jika masyarakat masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan.
"Sejatinya, pemerintah pusat sudah menetapkan premium hanya berlaku di luar Jawa. Seyogianya, BBM jenis ini harus dihapuskan peredarannya dari wilayah Jakarta jika pemprov berkomitmen menciptakan kualitas udara yang baik bagi warganya," ujar Tulus.
Sementara, Direktur Eksekutif Komite Pengurangan Bensin Bertimbal (KPBB) atau sebelumnya bernama Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin menganggap BBM jenis pertalite dan dexlite dengan RON lebih tinggi daripada permium pun sebagai bahan bakar yang tidak lagi layak berdasarkan standar emisi kendaraan yang berlaku di Indonesia. Untuk diketahui, sejak 2005, Indonesia mewajibkan standar kendaraan bermotor mengacu pada Euro2/II standar.
Penerapan standar ini, lanjut dia, mengharuskan prasyarat tersedianya BBM yang antara lain bensin dengan RON 92 (min), sulfur 500 ppm (max), dan lead 0,013 gr/L (max), dan solar dengan cetane number/CN 51 (min), sulfur 500 ppm (max). Kemudian, lanjutnya, pada Oktober 2018, pemerintah memperketat standar emisi kendaraan dengan mewajibkan Euro 4/IV standard yang mengharuskan ketersediaan bensin dengan RON 92 (min), sulfur 50 ppm (max), dan lead 0,005 gr/L (max), dan solar dengan CN 51 (min), sulfur 50 ppm (max).
"BBM yang memenuhi syarat adalah bensin yang setara dengan pertamax dan pertamax turbo. Sementara untuk solar adalah solar perta-dex dan perta-dex HQ (High Quality)," tutupnya.
Karena itu, Tulus mengatakan bahwa semua pihak baik pemerintah pusat dan daerah perlu satu suara dalam kebijakan menghilangkan premium. Penghapusan BBM yang tidak ramah lingkungan seperti premium, juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana Perjanjian Paris (Paris Protokol), yang telah diratifikasi. Pengurangan emisi karbon antara 29-40% akan sulit tercapai jika masyarakat masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan.
"Sejatinya, pemerintah pusat sudah menetapkan premium hanya berlaku di luar Jawa. Seyogianya, BBM jenis ini harus dihapuskan peredarannya dari wilayah Jakarta jika pemprov berkomitmen menciptakan kualitas udara yang baik bagi warganya," ujar Tulus.
Sementara, Direktur Eksekutif Komite Pengurangan Bensin Bertimbal (KPBB) atau sebelumnya bernama Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin menganggap BBM jenis pertalite dan dexlite dengan RON lebih tinggi daripada permium pun sebagai bahan bakar yang tidak lagi layak berdasarkan standar emisi kendaraan yang berlaku di Indonesia. Untuk diketahui, sejak 2005, Indonesia mewajibkan standar kendaraan bermotor mengacu pada Euro2/II standar.
Penerapan standar ini, lanjut dia, mengharuskan prasyarat tersedianya BBM yang antara lain bensin dengan RON 92 (min), sulfur 500 ppm (max), dan lead 0,013 gr/L (max), dan solar dengan cetane number/CN 51 (min), sulfur 500 ppm (max). Kemudian, lanjutnya, pada Oktober 2018, pemerintah memperketat standar emisi kendaraan dengan mewajibkan Euro 4/IV standard yang mengharuskan ketersediaan bensin dengan RON 92 (min), sulfur 50 ppm (max), dan lead 0,005 gr/L (max), dan solar dengan CN 51 (min), sulfur 50 ppm (max).
"BBM yang memenuhi syarat adalah bensin yang setara dengan pertamax dan pertamax turbo. Sementara untuk solar adalah solar perta-dex dan perta-dex HQ (High Quality)," tutupnya.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda