Pemerintah Tumpuk Utang di Masa Pandemi, Amankah?
Kamis, 02 Juli 2020 - 14:29 WIB
JAKARTA - Melebarnya defisit APBN menjadi 6,34% dari produk domestik bruto (PDB), serta akan adanya penarikan utang baru oleh pemerintah dinilai sebagai sesuatu yang bisa ditoleransi di tengah situasi krisis saat ini. Tidak hanya Indonesia, kini banyak negara-negara di dunia yang juga meningkatkan utangnya untuk menyelamatkan perekonomiannya dari ancaman resesi.
"Angka utang publik negara-negara di dunia akan meningkat tajam pada tahun ini," jelas Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) M Rifki Fadilah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/7/2020).
(Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Penyebab Utang Pemerintah Tembus Rp5.258 Triliun)
Dia mencontohkan, total utang non-finansial domestik di Amerika Serikat melonjak 11,7% menjadi USD55,9 triliun atau setara Rp782.600 triliun pada kuartal I/2020. Kemudian, Jepang juga bernasib sama. Nilai utang Jepang tahun ini diprediksi naik dari posisi akhir tahun lalu USD12,2 triliun, karena rencana penerbitan surat utang baru senilai USD1,1 triliun untuk mengatasi efek Covid-19.
Rifki melanjutkan, Dana Moneter Internasional (IMF) pun sudah menyatakan bahwa utang publik global akan mencapai level tertinggi sepanjang masa pada 2020 dan 2021, masing-masing di 101,5% dari PDB dan 103,2% dari PDB. Selain itu, rata-rata keseluruhan defisit fiskal akan melonjak hingga 13,9% dari PDB tahun ini, 10 poin persentase lebih tinggi dari 2019.
Meskipun dibutuhkan, Rifki mengatakan pemerintah juga perlu mengingat bahwa utang membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi perekonomian jangka menengah dan panjang. Menurutnya, dalam konteks pandemi Covid-19 ini, paket bantuan utang yang ditawarkan adalah penundaan, bukan penghapusan.
"Artinya, pembayaran utang akan tetap berjalan dan penghitungan bunga pun juga akan terus bertambah seiring berjalannya waktu," ujarnya.
(Baca Juga: Luhut Tantang Pengkritik Utang Negara untuk Diskusi)
Oleh sebab itu, Rifki menyarankan Kementerian Keuangan dalam jangka menengah harus mulai memetakan utang yang dimiliki oleh Indonesia. Proses pemetaan utang ini dimaksudkan untuk melihat utang-utang mana saja yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Ia meyakini hal itu penting agar pemerintah dapat memitigasi proses pembayarannya. Tidak kalah pentingnya, pelebaran defisit dan penambahan utang juga harus menjadi stimulus bagi perekonomian untuk berdaya kembali.
"Namun, yang perlu diperhatikan adalah supaya defisit dan utang tadi membantu perekonomian, maka perlu dibuat paket stimulus fiskal dapat langsung dieksekusi dengan cepat dan tepat," tegas Rifki.
Terakhir, meskipun utang memang dapat menjadi jalan pintas pembiayaan APBN, dirinya kembali mengingatkan Kementerian Keuangan dalam jangka menengah perlu memikirkan sumber pendanaan untuk melakukan pembayaran utang. Dengan begitu, Indonesia tidak terjerat dengan krisis utang di masa depan akibat beban utang di masa pandemi Covid-19.
"Angka utang publik negara-negara di dunia akan meningkat tajam pada tahun ini," jelas Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) M Rifki Fadilah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/7/2020).
(Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Penyebab Utang Pemerintah Tembus Rp5.258 Triliun)
Dia mencontohkan, total utang non-finansial domestik di Amerika Serikat melonjak 11,7% menjadi USD55,9 triliun atau setara Rp782.600 triliun pada kuartal I/2020. Kemudian, Jepang juga bernasib sama. Nilai utang Jepang tahun ini diprediksi naik dari posisi akhir tahun lalu USD12,2 triliun, karena rencana penerbitan surat utang baru senilai USD1,1 triliun untuk mengatasi efek Covid-19.
Rifki melanjutkan, Dana Moneter Internasional (IMF) pun sudah menyatakan bahwa utang publik global akan mencapai level tertinggi sepanjang masa pada 2020 dan 2021, masing-masing di 101,5% dari PDB dan 103,2% dari PDB. Selain itu, rata-rata keseluruhan defisit fiskal akan melonjak hingga 13,9% dari PDB tahun ini, 10 poin persentase lebih tinggi dari 2019.
Meskipun dibutuhkan, Rifki mengatakan pemerintah juga perlu mengingat bahwa utang membawa konsekuensi yang tidak mudah bagi perekonomian jangka menengah dan panjang. Menurutnya, dalam konteks pandemi Covid-19 ini, paket bantuan utang yang ditawarkan adalah penundaan, bukan penghapusan.
"Artinya, pembayaran utang akan tetap berjalan dan penghitungan bunga pun juga akan terus bertambah seiring berjalannya waktu," ujarnya.
(Baca Juga: Luhut Tantang Pengkritik Utang Negara untuk Diskusi)
Oleh sebab itu, Rifki menyarankan Kementerian Keuangan dalam jangka menengah harus mulai memetakan utang yang dimiliki oleh Indonesia. Proses pemetaan utang ini dimaksudkan untuk melihat utang-utang mana saja yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Ia meyakini hal itu penting agar pemerintah dapat memitigasi proses pembayarannya. Tidak kalah pentingnya, pelebaran defisit dan penambahan utang juga harus menjadi stimulus bagi perekonomian untuk berdaya kembali.
"Namun, yang perlu diperhatikan adalah supaya defisit dan utang tadi membantu perekonomian, maka perlu dibuat paket stimulus fiskal dapat langsung dieksekusi dengan cepat dan tepat," tegas Rifki.
Terakhir, meskipun utang memang dapat menjadi jalan pintas pembiayaan APBN, dirinya kembali mengingatkan Kementerian Keuangan dalam jangka menengah perlu memikirkan sumber pendanaan untuk melakukan pembayaran utang. Dengan begitu, Indonesia tidak terjerat dengan krisis utang di masa depan akibat beban utang di masa pandemi Covid-19.
(fai)
Lihat Juga :
tulis komentar anda