Tak Efisien, Kebijakan DMO dan DPO Sawit Sebaiknya Dihapus
Jum'at, 16 September 2022 - 18:02 WIB
Pemerintah telah mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal II/2022 sebesar 5,45%. Apabila tidak ada penghentian ekspor, maka PDB kuartal II/2022 diperkirakan sebesar Rp3.009 triliun atau pertumbuhan ekonomi mencapai 8,5%.
Pernyataan senada dikemukakan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung. Menurut Tungkot, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.
(Baca juga:Kemenperin Pastikan Pabrik Makanan Tak Pakai Minyak Goreng Sawit DMO)
Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO terbukti menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama. Tungkot menyarankan, agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK).
Kebijakan ini lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia. “Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa baru diturunkan pelan-pelan,” katanya.
Tungkot sependapat bahwa kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia. Apalagi, saat ini penurunan harga CPO dunia memungkinkan harga minyak goreng curah berpotensi turun di bawah harga eceran tertinggi (HET).
Pernyataan senada dikemukakan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung. Menurut Tungkot, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.
(Baca juga:Kemenperin Pastikan Pabrik Makanan Tak Pakai Minyak Goreng Sawit DMO)
Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO terbukti menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama. Tungkot menyarankan, agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK).
Kebijakan ini lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia. “Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa baru diturunkan pelan-pelan,” katanya.
Tungkot sependapat bahwa kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia. Apalagi, saat ini penurunan harga CPO dunia memungkinkan harga minyak goreng curah berpotensi turun di bawah harga eceran tertinggi (HET).
(dar)
tulis komentar anda