Ekonomi Dunia Diramal Gelap di 2023, Gimana Nasib RI?
Minggu, 16 Oktober 2022 - 15:05 WIB
BANDUNG - Krisis global yang diperkirakan terjadi tahun depan tidak akan berdampak ekstrem kepada Indonesia. Hal itu karena Indonesia tidak bergantung terhadap komoditas negara yang saat ini sedang perang, yakni Ukraina dan Rusia.
Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Deddy Priatmodjo Koesrindartoto mengatakan, Indonesia tidak akan mengalami langsung dampak ekstrem resesi global karena tidak bergantung pada komoditas yang berasal dari negara yang berselisih tersebut.
Negara-negara di Eropa dan sekitarnya yang akan merasakan dampak langsung konflik Rusia-Ukraina karena ketergantungannya pada komoditas penting seperti gas dan gandum. Perang kedua negara mengakibatkan rantai pasok global terhadap sejumlah komoditas penting dunia terganggu bahkan terhenti.
"Di Indonesia, permintaan kebutuhan energi dalam negeri masih bisa dipenuhi dengan rantai pasok yang ada dan tidak terdampak langsung oleh perang Rusia dan Ukraina, meski dampak kenaikan harga energi juga turut dirasakan karena kenaikan harga minyak dunia. Sementara itu, krisis komoditas pangan yang terjadi pada gandum, tidak berdampak ekstrem karena memang bukan makanan pokok Indonesia," ujar Deddy.
Saat ini, kondisi perekonomian Indonesia pun relatif kuat, ditunjukkan dengan kondisi pasar modal Indonesia yang masih dalam kondisi capital inflow, investasi luar negeri, Foreign Direct Investment (FDI) yang stabil, dan iklim investasi yang tetap berstatus investment grade. Ditopang dengan kebijakan aktif fiskal dan moneter yang dirasa sinergis, diharapkan efek resesi dan krisis global tidak terlalu ekstrem.
"Meskipun demikian, kita tetap perlu siap-siap terhadap kondisi resesi global, bagaimanapun kita sudah menjadi bagian ekonomi dunia yang terhubung, namun dampaknya akan lebih ‘mild’ dan tidak seekstrem seperti negara-negara lain," kata Deddy.
Pemerintah tidak perlu memberikan pernyataan berlebihan terkait resesi 2023. Deddy khawatir, pernyataan yang berlebihan terkait resesi global 2023 malah justru memicu efek "self-fulfilling prophecy" dan dimaknai masyarakat dengan menahan pola konsumsi berlebihan dan akhirnya akan terjadinya gangguan yang sebenarnya terhadap perekonomian Indonesia.
Akan lebih baik jika pernyataan tetap mengadung optimisme, seperti meski menghadapi tantangan berat berat, Indonesia yakin akan bisa mengatasi kondisi resesi global dengan baik. Menurut Deddy, pada akhirnya dampak resesi global akan terasa tidak langsung pada berbagai jalur, seperti gangguan ekonomi pada negara-negara tujuan ekspor, volume ekspor berkurang karena karena permintaan berkurang.
Lalu berbagai kebijakan moneter negara besar, seperti kenaikan suku bunga the Fed akan berdampak pada efek pelemahan Rupiah terhadap Dollar dan bisa menjadi salah satu penyebab kenaikan suku bunga di Indonesia. Dengan proyeksi kenaikan inflasi dan suku bunga kedepan, likuiditas keuangan di dalam negeri berisiko menjadi berkurang. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengantisipasi hal ini dengan menahan intensitas pembelian barang yang bukan menjadi kebutuhan utama pada 2023.
Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Deddy Priatmodjo Koesrindartoto mengatakan, Indonesia tidak akan mengalami langsung dampak ekstrem resesi global karena tidak bergantung pada komoditas yang berasal dari negara yang berselisih tersebut.
Negara-negara di Eropa dan sekitarnya yang akan merasakan dampak langsung konflik Rusia-Ukraina karena ketergantungannya pada komoditas penting seperti gas dan gandum. Perang kedua negara mengakibatkan rantai pasok global terhadap sejumlah komoditas penting dunia terganggu bahkan terhenti.
"Di Indonesia, permintaan kebutuhan energi dalam negeri masih bisa dipenuhi dengan rantai pasok yang ada dan tidak terdampak langsung oleh perang Rusia dan Ukraina, meski dampak kenaikan harga energi juga turut dirasakan karena kenaikan harga minyak dunia. Sementara itu, krisis komoditas pangan yang terjadi pada gandum, tidak berdampak ekstrem karena memang bukan makanan pokok Indonesia," ujar Deddy.
Saat ini, kondisi perekonomian Indonesia pun relatif kuat, ditunjukkan dengan kondisi pasar modal Indonesia yang masih dalam kondisi capital inflow, investasi luar negeri, Foreign Direct Investment (FDI) yang stabil, dan iklim investasi yang tetap berstatus investment grade. Ditopang dengan kebijakan aktif fiskal dan moneter yang dirasa sinergis, diharapkan efek resesi dan krisis global tidak terlalu ekstrem.
"Meskipun demikian, kita tetap perlu siap-siap terhadap kondisi resesi global, bagaimanapun kita sudah menjadi bagian ekonomi dunia yang terhubung, namun dampaknya akan lebih ‘mild’ dan tidak seekstrem seperti negara-negara lain," kata Deddy.
Pemerintah tidak perlu memberikan pernyataan berlebihan terkait resesi 2023. Deddy khawatir, pernyataan yang berlebihan terkait resesi global 2023 malah justru memicu efek "self-fulfilling prophecy" dan dimaknai masyarakat dengan menahan pola konsumsi berlebihan dan akhirnya akan terjadinya gangguan yang sebenarnya terhadap perekonomian Indonesia.
Akan lebih baik jika pernyataan tetap mengadung optimisme, seperti meski menghadapi tantangan berat berat, Indonesia yakin akan bisa mengatasi kondisi resesi global dengan baik. Menurut Deddy, pada akhirnya dampak resesi global akan terasa tidak langsung pada berbagai jalur, seperti gangguan ekonomi pada negara-negara tujuan ekspor, volume ekspor berkurang karena karena permintaan berkurang.
Lalu berbagai kebijakan moneter negara besar, seperti kenaikan suku bunga the Fed akan berdampak pada efek pelemahan Rupiah terhadap Dollar dan bisa menjadi salah satu penyebab kenaikan suku bunga di Indonesia. Dengan proyeksi kenaikan inflasi dan suku bunga kedepan, likuiditas keuangan di dalam negeri berisiko menjadi berkurang. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengantisipasi hal ini dengan menahan intensitas pembelian barang yang bukan menjadi kebutuhan utama pada 2023.
(nng)
tulis komentar anda