Konflik China-India Makin Panas, Bagaimana Nasib Indonesia?
Rabu, 08 Juli 2020 - 09:05 WIB
Investor terbesar asal China yakni perusahaan telekomunikasi seperti Huawei dan Xiaomi. Beberapa perusahaan raksasa lainnya dari China juga tengah menjajaki penambahan nilai investasi di India, termasuk membangun basis produksi. Mereka adalah ZTE, Benling, Dezan Shira, Wafangdian, dan Vivo.
Menurut Business Insider, tercatat 4 dari 5 merek handphone paling mendominasi di India berasal dari Negeri Tirai Bambu. Samsung yang berasal dari Korea, jadi satu-satunya merek non-China yang berada di urutan 5 besar tersebut. Harga yang murah namun dengan spesifikasi tinggi, membuat smartphone dari pabrikan China sulit tergantikan di India, terutama di kalangan masyarakat menengah dan menengah ke bawah.
Untuk menekan biaya, pabrikan ponsel pintar di China juga membangun pusat produksi di India. Merek paling laris di pasaran India adalah Xiaomi dengan pangsa pasar sebesar 30 persen. Artinya, 3 dari 10 orang di India adalah pengguna ponsel besutan perusahaan yang didirikan Lei Jun pada 2010 tersebut.
India sebelum pandemi virus corona, juga mendapatkan keuntungan sangat besar dari lonjakan turis asing dari China.
"Kita harus bisa mandiri sebisa mungkin, tetapi kita tidak bisa memisahkan dari dunia. India harus terus mempertahankan diri menjadi bagian dari rantai pasokan global dan tidak memboikot barang-barang dari China," kata pemimpin Kongres India, Chidambaram dikutip dari Livemint.
Indonesia Harus Meningkatkan Daya Saing
Lantas bagaimana dampak pergulatan India versus China terhadap Indonesia? Mengingat sengketa ini menyangkut gajah lawan gajah, tentu saja bisa membawa dampak serius. Konflik di perbatasan yang telah merambah ke bidang perekonomian bukan tak mungkin meningkat menjadi perang terbuka.
Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Mei 2020 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$2,21 miliar, disusul ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$1,09 miliar dan ke Jepang sebesar US$0,83 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 41,82 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$0,89 miliar.
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama JanuariāMei 2020 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$14,99 miliar (28,13 persen), Jepang US$5,35 miliar (10,04 persen), dan Singapura US$3,51 miliar (6,59 persen). Impor nonmigas dari ASEAN sebesar US$10.555,7 juta (19,81 persen), sementara dari Uni Eropa sebesar US$4.122,1 juta (7,73 persen).
Sedangkan dengan India, Indonesia sangat berkepentingan dalam memasarkan kelapa sawit. Pasar sawit India menjadi penting setelah adanya hambatan ekspor ke Uni Eropa dan menurunnya ekspor ke China akibat wabah virus corona. Selain meningkatkan ekspor sawit ke India, sebagai timbal baliknya Indonesia juga akan meningkatkan komoditas impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor.
Menurut Business Insider, tercatat 4 dari 5 merek handphone paling mendominasi di India berasal dari Negeri Tirai Bambu. Samsung yang berasal dari Korea, jadi satu-satunya merek non-China yang berada di urutan 5 besar tersebut. Harga yang murah namun dengan spesifikasi tinggi, membuat smartphone dari pabrikan China sulit tergantikan di India, terutama di kalangan masyarakat menengah dan menengah ke bawah.
Untuk menekan biaya, pabrikan ponsel pintar di China juga membangun pusat produksi di India. Merek paling laris di pasaran India adalah Xiaomi dengan pangsa pasar sebesar 30 persen. Artinya, 3 dari 10 orang di India adalah pengguna ponsel besutan perusahaan yang didirikan Lei Jun pada 2010 tersebut.
India sebelum pandemi virus corona, juga mendapatkan keuntungan sangat besar dari lonjakan turis asing dari China.
"Kita harus bisa mandiri sebisa mungkin, tetapi kita tidak bisa memisahkan dari dunia. India harus terus mempertahankan diri menjadi bagian dari rantai pasokan global dan tidak memboikot barang-barang dari China," kata pemimpin Kongres India, Chidambaram dikutip dari Livemint.
Indonesia Harus Meningkatkan Daya Saing
Lantas bagaimana dampak pergulatan India versus China terhadap Indonesia? Mengingat sengketa ini menyangkut gajah lawan gajah, tentu saja bisa membawa dampak serius. Konflik di perbatasan yang telah merambah ke bidang perekonomian bukan tak mungkin meningkat menjadi perang terbuka.
Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), ekspor nonmigas Mei 2020 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$2,21 miliar, disusul ekspor ke Amerika Serikat sebesar US$1,09 miliar dan ke Jepang sebesar US$0,83 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 41,82 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$0,89 miliar.
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama JanuariāMei 2020 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$14,99 miliar (28,13 persen), Jepang US$5,35 miliar (10,04 persen), dan Singapura US$3,51 miliar (6,59 persen). Impor nonmigas dari ASEAN sebesar US$10.555,7 juta (19,81 persen), sementara dari Uni Eropa sebesar US$4.122,1 juta (7,73 persen).
Sedangkan dengan India, Indonesia sangat berkepentingan dalam memasarkan kelapa sawit. Pasar sawit India menjadi penting setelah adanya hambatan ekspor ke Uni Eropa dan menurunnya ekspor ke China akibat wabah virus corona. Selain meningkatkan ekspor sawit ke India, sebagai timbal baliknya Indonesia juga akan meningkatkan komoditas impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor.
Lihat Juga :
tulis komentar anda