Perbarindo Ajak Industri BPR-BPRS Optimalkan Momentum UU PPSK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) mengajak industri bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) mengoptimalkan momentum pemberlakuan UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Dengan begitu, BPR dan BPRS dapat meningkatkan dan memperkuat daya saing serta menjadi pilar utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Keberadaan industri BPR dan BPRS makin kuat dan menjadi lebih terang-benderang dengan hadirnya UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan," tutur Tedy Ketua Umum Perbarindo Tedy Alamsyah saat membuka acara seminar nasional bertema "Peluang dan Tantangan Industri BPR BPRS di Tengah Hadirnya UU P2SK" di Semarang, Rabu (8/3/2023).
Tedy memaparkan, UU PPSK memiliki beberapa hal positif yang makin memperkuat eksistensi BPR-BPRS. Misalnya, perubahan nama BPR menjadi bank perekonomian rakyat dan BPRS menjadi bank perekonomian rakyat syariah. Kemudian, perluasan fungsi dan kegiatan usaha BPR sebagai lembaga intermediasi, pengaturan kerja sama bank umum dan BPR baik dalam pembiayaan UMKM maupun sebagai lembaga pengayom.
Hal lainnya, sambung dia, BPR dan BPRS bisa go public, dapat membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan jika nasabah/debitur tidak memenuhi kewajiban. Melalui UU PPSK, BPR juga bisa melakukan penggabungan dengan lembaga keuangan mikro (LKM) serta pemilik dan pemegang saham BPR tetap WNI atau badan hukum Indonesia.
"Hadirnya Keputusan Dewan Komisioner (KDK) OJK No 34/KDK.03/2022, tentu merupakan jawaban kita bersama akan kondisi kredit restrukturisasi. Kami mengimbau BPR dan BPRS untuk mengoptimalkan kesempatan ini, untuk memperbaiki dan melakukan assessment ulang terhadap kebijakan kredit restrukturisasi yang telah kita lakukan," tuturnya.
KDK OJK No 34 yang akan resmi berlaku pada 1 April 2023 sampai dengan 31 Maret 2024 ini memberikan beberapa kelonggaran, yaitu sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum; sektor tekstil dan produk tekstil serta alas kaki; segmen usaha mikro, kecil, dan menengah; Provinsi Bali sebagai sektor dan daerah yang memerlukan perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank.
Pada kesempatan yang sama, Plt. Deputi Komisioner Regional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang Widjanarko menyampaikan, melalui UU PPSK, negara telah memberikan amanat kepada BPR untuk meningkatkan peran dan fungsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya UMKM.
"OJK siap menindaklanjuti UU PPSK dalam peraturan-peraturan turunan. Misalnya, semua boleh IPO, tetapi siapa saja BPR dan BPRS yang diperbolehkan masuk, tentu ada syaratnya, artinya membatasi untuk yang benar-benar memenuhi persyaratan," ujarnya.
Bambang juga mengimbau agar BPR BPRS bisa beradaptasi terhadap perkembangan teknologi digital sehingga sejalan dengan keinginan nasabah. Salah satu strategi yang sudah dilakukan dan bisa dikembangkan lebih lanjut adalah dengan memanfaatkan kearifan lokal di tiap daerah.
Selain itu, kata dia, hal lain yang perlu diperhatikan BPR adalah masalah permodalan. Proses konsolidasi antar-BPR untuk memenuhi persyaratan modal inti dari OJK mesti dimaknai sebagai batu loncatan bagi BPR untuk bisa terus berkembang.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR Musthofa menjelaskan UU PPSK yang memiliki 27 bab dan 341 pasal ini dilatarbelakangi perkembangan sektor keuangan dan teknologi yang dinamis sehingga memerlukan penyesuaian serta pengaturan baru di sektor finansial. "UU PPSK untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi serta memperkuat ekosistem keuangan, salah satunya juga untuk memperkuat peran BPR dan BPRS," kata Musthofa.
Mengenai tantangan BPR dan BPRS, kata dia, dari sisi internal adalah permodalan yang belum memadai, optimalisasi tata kelola, serta terbatasnya produk dan inovasi digital. Dia berharap, BPR dan BPRS berinvestasi pada infrastruktur teknologi informasi yang memadai dan modern serta memperkuat permodalan.
"Keberadaan industri BPR dan BPRS makin kuat dan menjadi lebih terang-benderang dengan hadirnya UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan," tutur Tedy Ketua Umum Perbarindo Tedy Alamsyah saat membuka acara seminar nasional bertema "Peluang dan Tantangan Industri BPR BPRS di Tengah Hadirnya UU P2SK" di Semarang, Rabu (8/3/2023).
Tedy memaparkan, UU PPSK memiliki beberapa hal positif yang makin memperkuat eksistensi BPR-BPRS. Misalnya, perubahan nama BPR menjadi bank perekonomian rakyat dan BPRS menjadi bank perekonomian rakyat syariah. Kemudian, perluasan fungsi dan kegiatan usaha BPR sebagai lembaga intermediasi, pengaturan kerja sama bank umum dan BPR baik dalam pembiayaan UMKM maupun sebagai lembaga pengayom.
Hal lainnya, sambung dia, BPR dan BPRS bisa go public, dapat membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan jika nasabah/debitur tidak memenuhi kewajiban. Melalui UU PPSK, BPR juga bisa melakukan penggabungan dengan lembaga keuangan mikro (LKM) serta pemilik dan pemegang saham BPR tetap WNI atau badan hukum Indonesia.
"Hadirnya Keputusan Dewan Komisioner (KDK) OJK No 34/KDK.03/2022, tentu merupakan jawaban kita bersama akan kondisi kredit restrukturisasi. Kami mengimbau BPR dan BPRS untuk mengoptimalkan kesempatan ini, untuk memperbaiki dan melakukan assessment ulang terhadap kebijakan kredit restrukturisasi yang telah kita lakukan," tuturnya.
KDK OJK No 34 yang akan resmi berlaku pada 1 April 2023 sampai dengan 31 Maret 2024 ini memberikan beberapa kelonggaran, yaitu sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum; sektor tekstil dan produk tekstil serta alas kaki; segmen usaha mikro, kecil, dan menengah; Provinsi Bali sebagai sektor dan daerah yang memerlukan perlakuan khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank.
Pada kesempatan yang sama, Plt. Deputi Komisioner Regional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang Widjanarko menyampaikan, melalui UU PPSK, negara telah memberikan amanat kepada BPR untuk meningkatkan peran dan fungsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya UMKM.
"OJK siap menindaklanjuti UU PPSK dalam peraturan-peraturan turunan. Misalnya, semua boleh IPO, tetapi siapa saja BPR dan BPRS yang diperbolehkan masuk, tentu ada syaratnya, artinya membatasi untuk yang benar-benar memenuhi persyaratan," ujarnya.
Baca Juga
Bambang juga mengimbau agar BPR BPRS bisa beradaptasi terhadap perkembangan teknologi digital sehingga sejalan dengan keinginan nasabah. Salah satu strategi yang sudah dilakukan dan bisa dikembangkan lebih lanjut adalah dengan memanfaatkan kearifan lokal di tiap daerah.
Selain itu, kata dia, hal lain yang perlu diperhatikan BPR adalah masalah permodalan. Proses konsolidasi antar-BPR untuk memenuhi persyaratan modal inti dari OJK mesti dimaknai sebagai batu loncatan bagi BPR untuk bisa terus berkembang.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR Musthofa menjelaskan UU PPSK yang memiliki 27 bab dan 341 pasal ini dilatarbelakangi perkembangan sektor keuangan dan teknologi yang dinamis sehingga memerlukan penyesuaian serta pengaturan baru di sektor finansial. "UU PPSK untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi serta memperkuat ekosistem keuangan, salah satunya juga untuk memperkuat peran BPR dan BPRS," kata Musthofa.
Mengenai tantangan BPR dan BPRS, kata dia, dari sisi internal adalah permodalan yang belum memadai, optimalisasi tata kelola, serta terbatasnya produk dan inovasi digital. Dia berharap, BPR dan BPRS berinvestasi pada infrastruktur teknologi informasi yang memadai dan modern serta memperkuat permodalan.
(fai)