Ekonomi Mampet, Kebijakan di Era Normal Baru Dipertanyakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah Indonesia melakukan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah masih tingginya kasus positif Covid-19 menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Ternyata, beraktivitas di tengah pandemi menimbulkan risiko yang tinggi terhadap tingkat penyerbaran kasus baru.
Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai angka 84.882 orang per 18 Juli 2020, menjadikan jumlah tertinggi di wilayah ASEAN dan bahkan sudah menyalip China yang jumlah kasus positif Covid-19 sebesar 83.644 dalam periode yang sama.
"Dengan belum melandainya jumlah kasus positif baru Covid-19, maka kesiapan Indonesia terkait kebijakan pelonggaran pembatasan masih dipertanyakan. Ini sekaligus membuktikan efektivitas berbagai kebijakan di era normal baru termasuk upaya pemulihan ekonomi nasional belum efektif," kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and finance (Indef) A Erani Yustika saat Webinar Kajian tengah Tahun Indef 2020 di Jakarta, Selasa (21/7/2020). (Baca juga: Normal Baru, Kriminal Baru )
Sebagai respon terhadap perlambatan ekonomi domestik, pemerintah memainkan peran sentral dengan memompa stimulus fiskal secara eksesif. Melalui Perppu No.1 Tahun 2020 yang kemudian diundangkan menjadi UU No.2 Tahun 2020, pemerintah memiliki fleksibilitas dalam memperlebar defisit fiskal di atas 3% hingga tahun 2022.
Sejauh ini pemerintah telah melakukan dua kali merevisi postur APBN yaitu melalui Perpres 54/2020 (defisit 5,1% terhadap PDB/Produk Domestik Bruto) dan Perpres 72/2020 (defisit 6,3% terhadap PDB).
"Alhasil, biaya penanganan Covid-19 termasuk untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga terus merangkak naik dari semula Rp405,1 triliun menjadi Rp695,2 triliun," papar Erani.
Menurut dia, kebijakan stimulus ekonomi akibat Covid-19 perlu fokus untuk penyelamatan ekonomi masyarakat yang terkena dampak langsung. Jika melihat kondisi aktual, maka hingga saat ini kebijakan yang terkait dengan upaya pemulihan ekonomi masih menemui jalan terjal.
"Efektivitas kebijakan untuk memacu ekonomi dari sisi supply dan demand masih belum terlihat optimal. Selain itu, peran masyarakat dan dunia usaha juga diperlukan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi," katanya. (Baca juga: Jokowi Tunjuk Erick Pulihkan Ekonomi, Lukman Edy: Frekuensi Keduanya Sama )
Pemerintah sadar bahwa dukungan fiskal baik dari sisi permintaan maupun penawaran memiliki arti yang penting dalam mendorong pemulihan konsumsi dan produksi.
"Sebesar apapun anggaran yang dialokasikan akan menjadi kemubaziran manakala program PEN tersebut tidak mengarah pada sasaran yang tepat ditambah eksekusi yang sejauh ini lambat," ungkap dia.
Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai angka 84.882 orang per 18 Juli 2020, menjadikan jumlah tertinggi di wilayah ASEAN dan bahkan sudah menyalip China yang jumlah kasus positif Covid-19 sebesar 83.644 dalam periode yang sama.
"Dengan belum melandainya jumlah kasus positif baru Covid-19, maka kesiapan Indonesia terkait kebijakan pelonggaran pembatasan masih dipertanyakan. Ini sekaligus membuktikan efektivitas berbagai kebijakan di era normal baru termasuk upaya pemulihan ekonomi nasional belum efektif," kata Ekonom Senior Institute for Development of Economics and finance (Indef) A Erani Yustika saat Webinar Kajian tengah Tahun Indef 2020 di Jakarta, Selasa (21/7/2020). (Baca juga: Normal Baru, Kriminal Baru )
Sebagai respon terhadap perlambatan ekonomi domestik, pemerintah memainkan peran sentral dengan memompa stimulus fiskal secara eksesif. Melalui Perppu No.1 Tahun 2020 yang kemudian diundangkan menjadi UU No.2 Tahun 2020, pemerintah memiliki fleksibilitas dalam memperlebar defisit fiskal di atas 3% hingga tahun 2022.
Sejauh ini pemerintah telah melakukan dua kali merevisi postur APBN yaitu melalui Perpres 54/2020 (defisit 5,1% terhadap PDB/Produk Domestik Bruto) dan Perpres 72/2020 (defisit 6,3% terhadap PDB).
"Alhasil, biaya penanganan Covid-19 termasuk untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) juga terus merangkak naik dari semula Rp405,1 triliun menjadi Rp695,2 triliun," papar Erani.
Menurut dia, kebijakan stimulus ekonomi akibat Covid-19 perlu fokus untuk penyelamatan ekonomi masyarakat yang terkena dampak langsung. Jika melihat kondisi aktual, maka hingga saat ini kebijakan yang terkait dengan upaya pemulihan ekonomi masih menemui jalan terjal.
"Efektivitas kebijakan untuk memacu ekonomi dari sisi supply dan demand masih belum terlihat optimal. Selain itu, peran masyarakat dan dunia usaha juga diperlukan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi," katanya. (Baca juga: Jokowi Tunjuk Erick Pulihkan Ekonomi, Lukman Edy: Frekuensi Keduanya Sama )
Pemerintah sadar bahwa dukungan fiskal baik dari sisi permintaan maupun penawaran memiliki arti yang penting dalam mendorong pemulihan konsumsi dan produksi.
"Sebesar apapun anggaran yang dialokasikan akan menjadi kemubaziran manakala program PEN tersebut tidak mengarah pada sasaran yang tepat ditambah eksekusi yang sejauh ini lambat," ungkap dia.
(ind)