Pemerintah-BI Berbagi Beban Utang Demi Indonesia, Ekonom: Langkah Tepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan Bank Indonesia (BI) telah menandatangani surat keputusan bersama (SKB) tentang skema berbagi beban atau burden sharing.
Dalam kerjasama SKB ini terdapat tiga skema yang sudah disepakati dan berlaku. Pertama, skema pembelian SBN secara keseluruhan oleh BI serta menanggung bunganya. SBN yang ditanggung BI dengan skema ini mencapai Rp397 triliun untuk kebutuhan belanja public goods seperti kesehatan sampai perlindungan sosial. Skema pertama ini lebih dikenal pasar sebagai monetisasi utang.
Kedua, penerbitan SBN yang sebagian imbal hasilnya ditanggung BI dengan mempertimbangkan batasan 1% di bawah suku bunga acuan atau BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Skema ini mencangkup belanja bagi UMKM senilai Rp123,46 triliun.
Skema ketiga adalah penerbitan SBN yang intinya sama seperti penerbitan ke pasar pada umumnya. Namun penekanannya lebih pada SKB No. 1 yang sebatas memberi BI kesempatan menyerap SBN yang tidak laku dilelang di pasar. Nilainya mencapai Rp308,87 triliun. (Baca: Pelonggaran Moneter Diyakini Mampu Kurangi Tekanan Akibat Pandemi )
Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin mengapresiasi keputusan SKB tersebut dan meyakini langkah ini akan direspon positif oleh pelaku pasar modal.
Menurut dia, sinergi antara otoritas fiskal dan moneter harus dilakukan karena pemulihan sektor ekonomi dan kesehatan akibat pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"SKB itu langkah tepat. Investor di pasar modal banyak yang keluar. Memang harus dilakukan kerjasama antara otoritas fiskal dan moneter seperti halnya di AS Eropa dan negara-negara lain," ujar Ferry di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
Dia mengaku seringkali banyak orang yang khawatir risiko terjadinya moral hazard saat BI bekerjasama dengan pemerintah. Tapi menurut dia tragedi Covid-19 ini mengharuskan dua instansi itu bekerjasama tanpa merusak independensi BI.
"Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan ekonomi kita. BI cukup membeli surat utang pemerintah dengan suku bunga nol persen. Seperti langkah the Fed. Intinya BI bersedia mencetak uang untuk membeli SBN," ujarnya.
Staf Khusus Menteri Keuangan Candra Fajri Ananda menjelaskan mekanisme burden sharing antara BI dan pemerintah pada dasarnya dibuat demi kepentingan bangsa. Nantinya BI bisa terlibat ikut menanggung biaya penanggulangan dampak Covid-19. "Dalam masa normal, pemerintah menanggung seluruh pembiayaan dan tentu ini tidak sehat bagi keuangan negara," ujar Candra.
Dengan berdasarkan itu, muncul pemikiran untuk menanggung beban bersama beban. Sehingga, beban dibagi bersama di antara bank sentral dan pemerintah. Terkait besaran yang harus ditanggung BI dan Pemerintah, sangat tergantung situasi makro ekonomi. "Idealnya sharing burden tidak mengganggu kinerja BI maupun pemerintahan," ujarnya.
Menurut dia, opsi yang bakal jadi prioritas adalah yang pertama karena BI menanggung seluruh bunga SBN pemerintah. Hal ini dilakukan atas pertimbangan pengurangan beban pemerintah yang akan sangat berat di kemudian hari.
"Selain itu juga ada sektor public goods yang didalamnya termasuk kesehatan, memerlukan penanganan yang lebih cepat dan benar agar nantinya tidak mengarah pada dampak ekonomi yang lebih besar lagi," ujarnya.
Sementara pengamat ekonomi Indef Bhima Yudhistira menilai opsi nomor tiga merupakan yang terbaik dimana BI bersifat standby buyer. Jadi ketika SBN tidak laku di pasar, akibat capital outflow misalnya, baru kemudian BI masuk untuk beli. (Baca juga: Dana Asing Kabur Rp730 Miliar dalam Sepekan, Sejak Awal Tahun Rp145,47 Triliun )
"Untuk opsi nomor pertama artinya BI benar benar terlibat sejak awal. Tapi opsi nomor tiga yang paling aman dibanding dua opsi sebelumnya. Terutama terhadap dampak karena berkurangnya kepercayaan kepada independensi otoritas moneter serta dampak ke inflasi tahun depan," pungkasnya.
Dalam kerjasama SKB ini terdapat tiga skema yang sudah disepakati dan berlaku. Pertama, skema pembelian SBN secara keseluruhan oleh BI serta menanggung bunganya. SBN yang ditanggung BI dengan skema ini mencapai Rp397 triliun untuk kebutuhan belanja public goods seperti kesehatan sampai perlindungan sosial. Skema pertama ini lebih dikenal pasar sebagai monetisasi utang.
Kedua, penerbitan SBN yang sebagian imbal hasilnya ditanggung BI dengan mempertimbangkan batasan 1% di bawah suku bunga acuan atau BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Skema ini mencangkup belanja bagi UMKM senilai Rp123,46 triliun.
Skema ketiga adalah penerbitan SBN yang intinya sama seperti penerbitan ke pasar pada umumnya. Namun penekanannya lebih pada SKB No. 1 yang sebatas memberi BI kesempatan menyerap SBN yang tidak laku dilelang di pasar. Nilainya mencapai Rp308,87 triliun. (Baca: Pelonggaran Moneter Diyakini Mampu Kurangi Tekanan Akibat Pandemi )
Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin mengapresiasi keputusan SKB tersebut dan meyakini langkah ini akan direspon positif oleh pelaku pasar modal.
Menurut dia, sinergi antara otoritas fiskal dan moneter harus dilakukan karena pemulihan sektor ekonomi dan kesehatan akibat pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
"SKB itu langkah tepat. Investor di pasar modal banyak yang keluar. Memang harus dilakukan kerjasama antara otoritas fiskal dan moneter seperti halnya di AS Eropa dan negara-negara lain," ujar Ferry di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
Dia mengaku seringkali banyak orang yang khawatir risiko terjadinya moral hazard saat BI bekerjasama dengan pemerintah. Tapi menurut dia tragedi Covid-19 ini mengharuskan dua instansi itu bekerjasama tanpa merusak independensi BI.
"Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan ekonomi kita. BI cukup membeli surat utang pemerintah dengan suku bunga nol persen. Seperti langkah the Fed. Intinya BI bersedia mencetak uang untuk membeli SBN," ujarnya.
Staf Khusus Menteri Keuangan Candra Fajri Ananda menjelaskan mekanisme burden sharing antara BI dan pemerintah pada dasarnya dibuat demi kepentingan bangsa. Nantinya BI bisa terlibat ikut menanggung biaya penanggulangan dampak Covid-19. "Dalam masa normal, pemerintah menanggung seluruh pembiayaan dan tentu ini tidak sehat bagi keuangan negara," ujar Candra.
Dengan berdasarkan itu, muncul pemikiran untuk menanggung beban bersama beban. Sehingga, beban dibagi bersama di antara bank sentral dan pemerintah. Terkait besaran yang harus ditanggung BI dan Pemerintah, sangat tergantung situasi makro ekonomi. "Idealnya sharing burden tidak mengganggu kinerja BI maupun pemerintahan," ujarnya.
Menurut dia, opsi yang bakal jadi prioritas adalah yang pertama karena BI menanggung seluruh bunga SBN pemerintah. Hal ini dilakukan atas pertimbangan pengurangan beban pemerintah yang akan sangat berat di kemudian hari.
"Selain itu juga ada sektor public goods yang didalamnya termasuk kesehatan, memerlukan penanganan yang lebih cepat dan benar agar nantinya tidak mengarah pada dampak ekonomi yang lebih besar lagi," ujarnya.
Sementara pengamat ekonomi Indef Bhima Yudhistira menilai opsi nomor tiga merupakan yang terbaik dimana BI bersifat standby buyer. Jadi ketika SBN tidak laku di pasar, akibat capital outflow misalnya, baru kemudian BI masuk untuk beli. (Baca juga: Dana Asing Kabur Rp730 Miliar dalam Sepekan, Sejak Awal Tahun Rp145,47 Triliun )
"Untuk opsi nomor pertama artinya BI benar benar terlibat sejak awal. Tapi opsi nomor tiga yang paling aman dibanding dua opsi sebelumnya. Terutama terhadap dampak karena berkurangnya kepercayaan kepada independensi otoritas moneter serta dampak ke inflasi tahun depan," pungkasnya.
(ind)