Kilas Balik Kereta Cepat, Ini Alasan Pemerintah Gandeng China Dibanding Jepang

Minggu, 02 Juli 2023 - 12:57 WIB
loading...
Kilas Balik Kereta Cepat,...
Kilas balik kereta cepat Jakarta-Bandung, Indonesia pernah berada di antara Jepang dan China terkait siapa yang berhak menggarap mega proyek pemerintah itu. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Indonesia selangkah lagi memiliki transportasi baru, yakni kereta cepat yang bakal melayani rute Jakarta-Bandung. Namun tahukah bila sebelumnya pemerintah Indonesia berada di antara China dan Jepang, soal siapa yang berhak menggarap proyek kereta cepat.



Melihat ke belakang, Jepang sebenarnya menjadi yang pertama menawarkan proposal pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung kepada pemerintah Jokowi lewat Japan International Cooperation Agency (JICA). Keseriusan JICA ditunjukkan dengan mengucurkan modal sebesar USD3,5 juta sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.



Berdasarkan hitung-hitungan Jepang bahwa investasi kereta cepat mencapai USD6,2 miliar dimana 75% dibiayai Jepang berupa pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga sebesar 0,1% per tahun.

Namun di tengah-tengah lobi Jepang, menyodok masuk China yang melakukan studi buat proyek sama kereta cepat. Mendapatkan sambutan baik dari pemerintah, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu Rini Soemarno mengungkapkan, kenapa tawaran China diterima.

Diterangkan oleh Menteri Rini bahwa, pemerintah telah menetapkan pembangunan kereta cepat harus memenuhi 2 syarat, yaitu tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan tidak meminta jaminan dari pemerintah.

Dari 2 proposal kereta cepat yang diterima pemerintah, menurutnya hanya proposal dari China yang memenuhi kedua persyaratan itu. Proposal Jepang otomatis ditolak karena meminta jaminan pemerintah.

"Mengenai kereta cepat, keputusan pemerintah sangat jelas. Kalau dilihat dari proposal yang diterima, yang memenuhi syarat itu adalah proposal China karena tidak meminta jaminan pemerintah dan dana dari APBN. Jadi B to B (business to business), BUMN (China) dengan BUMN (Indonesia)," kata Rini usai rapat kerja dengan Komisi VI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (1/10/2015).

China menawarkan nilai investasi lebih murah sebesar USD5,5 miliar atau setara Rp81 triliun. Skema investasinya 40% kepemilikan China dan 60% konsorsium BUMN serta sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun.

Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25% akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun. China juga menjamin pembangunan proyek ini tidak akan menguras dana APBN Indonesia.

Tawaran China itu lantas diterima Indonesia dengan menerbitkan Perpres Nomor 107 Tahun 2015. Namun kemudian Presiden meralatnya agar APBN bisa ikut mendanai kereta cepat dengan menandatangani Perpres Nomor 93 Tahun 2021.

Pembangunan kereta cepat pun dimulai pada 2016 dan ditargetkan rampung pada 2018 sehingga bisa mulai beroperasi pada 2019. Tapi kenyataannya pembangunan harus molor hingga kereta cepat Jakarta-Bandung dijadwalkan akan diresmikan pada Agustus 2023.

Biaya Bengkak

Tergiur kata murah di awal, kenyataannya proyek kereta Jakarta-Bandung yang digarap konsorsium perusahaan Indonesia-China mengalami pembengkakan biaya.

Proyek yang awalnya ditargetkan rampung pada 2019, namun baru akan diresmikan Agustus 2023 mendatang. Biaya pembangunan mega proyek kereta cepat mengalami pembengkakan biaya atau cost overrun menjadi USD8 miliar atau setara Rp114,2 triliun. Angka tersebut membengkak USD1,9 miliar dari rencana awal sebesar USD6 miliar.

Sejumlah faktor penyebab pembengkakan biaya antara lain perobohan dan pembangunan ulang tiang pancang karena kesalahan kontraktor, pemindahan utilitas, penggunaan frekuensi GSM, pembebasan lahan, pencurian besi, hingga hambatan geologi dalam pembangunan terowongan serta ditambah adanya Pandemi Covid-19.

Melonjaknya biaya investasi kereta cepat kerja sama Indonesia-China bahkan juga sudah jauh malampaui dana pembangunan untuk proyek yang sama yang ditawarkan proposal Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), meski pihak Tokyo menawarkan bunga utang lebih rendah.

Agar proyek tidak sampai mangkrak, pemerintah Indonesia menambal sebagian kekurangan dana dengan duit APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut.

Untuk diketahui, komposisi pembiayaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah 75% berasal dari pinjaman melalui China Development Bank (CDB) dan sisanya merupakan setoran modal dari konsorsium dua negara yaitu Indonesia-China.

Pembagiannya, konsorsium BUMN Indonesia menyumbang 60% dan 40% berasal dari konsorsium China. Total pinjaman Indonesia ke China Development Bank (CDB) mencapai Rp8,3 triliun.

Utang itu akan dipakai untuk pembiayaan pembengkakan biaya kereta cepat. Hanya saja, bunga yang ditawarkan oleh China adalah 3,4% per tahun dengan tenor selama 30 tahun.

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Panjaitan, mengatakan China enggan menurunkan bunga pinjaman menjadi 2% dengan tenor selama 40 tahun - yang merupakan skema pembiayaan awal.

Kendati dianggap memberatkan, Luhut mengatakan bunga utang yang dipatok China itu "tidak masalah" karena Indonesia memiliki kemampuan untuk membayar dan melunasi pinjaman dari pajak.

Perbedaan penawaran China dan Jepang

Dikutip dari buku yang diterbitkan KCIC bertajuk "Kereta Cepat Jakarta-Bandung", berikut perbedaan dari isi proposal antara negara China dan Jepang yang diberikan kepada pemerintah dalam buku yang diterbitkan KCIC pada tahun 2018 lalu.

Isi Penawaran Konsorsium antara China dan Indonesia:

1. Nilai penawaran Sebesar USD5,13 miliar
2. Komitmen pemerintah: Tak ada jaminan pemerintah, pembiayaan dari APBN dan subsidi tarif, dan pembengkakan biaya menjadi tanggung jawab joint venture company (JVC).
3. Konsep bisnis: Berbentuk JVC, Indonesia memegang saham 60 persen dan China 40 persen
4. Pengadaan lahan: Tak ada kewajiban pemerintah untuk pembebasan tanah
5. Kandungan lokal: 58,6 persen
6. Penciptaan lapangan kerja baru, masa konstruksi 39 ribu orang per tahun. Pekerja China yang dipekerjakan selama masa konstruksi terbatas pada tenaga ahli dan supervisor
7. Teknologi: Teknologi Siemens yang dikembangkan di China sejak 2003
8. Pengalihan teknologi: Melalui pembangunan pabrik rolling stock di Indonesia

Isi Penawaran Konsorsium antara Jepang dan Indonesia:

1. Nilai penawaran: USD6,2 miliar
2. Komitmen pemerintah: Ada jaminan pemerintah, pembiayaan dari APBN dan subsidi tarif, serta pembengkakan biaya ditanggung pemerintah
3. Konsep bisnis: Engineering, procurement, and construction (EPC)
4. Pengadaan lahan: Ada kewajiban pemerintah untuk pengadaan dan pembebasan lahan
5. Kandungan lokal: 40 persen
6. Penciptaan lapangan kerja: Masa konstruksi sebanyak 35 ribu orang per tahun dan ada tenaga kerja dari Jepang
7. Teknologi: Sejak 1964 kereta cepat yang dikembangkan di Jepang sesuai dengan kebutuhan kondisi iklim empat musim, teknologi bersifat tertutup
8. Pengalihan teknologi: Tak ada program alih teknologi yang jelas
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1677 seconds (0.1#10.140)