Arus Masuk Mata Uang Asing ke Rusia Merosot, Surplus Transaksi Berjalan Jatuh Jadi Rp80,4 T
loading...
A
A
A
MOSKOW - Surplus transaksi berjalan Rusia merosot pada kuartal kedua tahun 2023 usai mencetak rekor pada 2022, seperti diungkapkan data bank sentral yang dirilis tengah pekan kemarin. Surplus neraca transaksi berjalan Rusia turun menjadi USD5,4 miliar atau setara Rp80,4 triliun (Kurs Rp14.903 per USD) sepanjang periode April hingga Juni 2023, dibandingkan dengan USD76,7 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Keuntungan dari valuta asing turun 93% dan hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan kuartal pertama tahun ini, menempatkan rubel di bawah tekanan. Raihan tersebut menjadi surplus terkecil sejak kuartal ketiga 2020, saat harga minyak mentah turun ke level terendah sejak 1990-an di tengah pandemi dan perusahaan minyak Rusia terpaksa memangkas produksi.
Penurunan surplus perdagangan luar negeri antara Januari dan Juni "disebabkan oleh penurunan volume pengiriman ekspor dan memburuknya harga komoditas utama ekspor Rusia, dimana produk energi telah berkontribusi paling besar terhadap penurunan nilai ekspor," kata regulator dalam sebuah pernyataan seperti dilansir RT, Jumat (14/7/2023).
Pendapatan dari ekspor energi mengalami pukulan keras menyusul sanksi Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Diketahui sanksi Barat telah melarang ekspor lintas laut ke UE (Uni Eropa) dan memberlakukan batasan harga pada minyak mentah dan produk minyak Rusia.
Harga minyak mentah yang lebih rendah, berkurangnya aliran gas ke UE, dan pemulihan permintaan impor memotong pendapatan Rusia. Menurut perkiraan Goldman Sachs, penurunan harga minyak berkontribusi sebesar USD25 miliar terhadap penurunan surplus di kuartal kedua secara year-on-year (YoY).
Pelemahan neraca perdagangan, diproyeksikan bakal membuat mata uang rubel Rusia juga masih tertekan, serta mengangkat inflasi mendekati 5% tahun ini. "Kami memperkirakan surplus transaksi berjalan pada 2023 menyusut menjadi kurang dari seperlima dari USD233 miliar tahun lalu," kata ekonom Bloomberg Rusia, Aleksandr Isakov.
Dia memperingatkan, bahwa keseimbangan eksternal yang lebih kecil akan merugikan kemampuan Rusia untuk menggunakan modal dalam memperoleh aset dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menghindari sanksi.
Bank sentral masih mengharapkan surplus transaksi berjalan sebesar USD47 miliar tahun ini, dan USD38 miliar pada tahun 2024.
Sebelumnya keuntungan besar dikantongi Rusia, saat neraca transaksi berjalan Rusia pada 2022 mencapai USD227,4 miliar atau setara Rp3.545 triliun dengan asumsi kurs JISDOR akhir 2022 Rp15.592 per dolar AS.
Dikutip dari Reuters, surplus neraca transaksi berjalan Rusia sepanjang tahun lalu melonjak 86% dibandingkan 2021 dan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Raihan itu didorong oleh impor yang anjlok, disaat bersamaan ekspor minyak dan gas terkerek naik untuk membuat aliran modal asing tetap masuk, meski negara ini diisolasi negara Barat. Impor Rusia turun tajam pada tahun lalu di tengah eksodus perusahaan-perusahaan Barat yang menjatuhkan sanksi terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina.
Di sisi lain, Kremlin berhasil mengganti pendapatan yang hilang dari ekspor minyak dan gasnya ke Eropa dengan menjadikan negara-negara Asia menjadi alternatif tujuan seperti China hingga India.
Berdasarkan data Bea Cukai Cina, perdagangan antara negara dengan Rusia mencapai rekor tertinggi mencapai USD190 miliar tahun lalu. Hingga kini perang Rusia dan Ukraina yang meletus sejak Februari 2022, belum jelas kapan bakal berakhir.
Keuntungan dari valuta asing turun 93% dan hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan kuartal pertama tahun ini, menempatkan rubel di bawah tekanan. Raihan tersebut menjadi surplus terkecil sejak kuartal ketiga 2020, saat harga minyak mentah turun ke level terendah sejak 1990-an di tengah pandemi dan perusahaan minyak Rusia terpaksa memangkas produksi.
Penurunan surplus perdagangan luar negeri antara Januari dan Juni "disebabkan oleh penurunan volume pengiriman ekspor dan memburuknya harga komoditas utama ekspor Rusia, dimana produk energi telah berkontribusi paling besar terhadap penurunan nilai ekspor," kata regulator dalam sebuah pernyataan seperti dilansir RT, Jumat (14/7/2023).
Pendapatan dari ekspor energi mengalami pukulan keras menyusul sanksi Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Diketahui sanksi Barat telah melarang ekspor lintas laut ke UE (Uni Eropa) dan memberlakukan batasan harga pada minyak mentah dan produk minyak Rusia.
Harga minyak mentah yang lebih rendah, berkurangnya aliran gas ke UE, dan pemulihan permintaan impor memotong pendapatan Rusia. Menurut perkiraan Goldman Sachs, penurunan harga minyak berkontribusi sebesar USD25 miliar terhadap penurunan surplus di kuartal kedua secara year-on-year (YoY).
Pelemahan neraca perdagangan, diproyeksikan bakal membuat mata uang rubel Rusia juga masih tertekan, serta mengangkat inflasi mendekati 5% tahun ini. "Kami memperkirakan surplus transaksi berjalan pada 2023 menyusut menjadi kurang dari seperlima dari USD233 miliar tahun lalu," kata ekonom Bloomberg Rusia, Aleksandr Isakov.
Dia memperingatkan, bahwa keseimbangan eksternal yang lebih kecil akan merugikan kemampuan Rusia untuk menggunakan modal dalam memperoleh aset dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menghindari sanksi.
Bank sentral masih mengharapkan surplus transaksi berjalan sebesar USD47 miliar tahun ini, dan USD38 miliar pada tahun 2024.
Sebelumnya keuntungan besar dikantongi Rusia, saat neraca transaksi berjalan Rusia pada 2022 mencapai USD227,4 miliar atau setara Rp3.545 triliun dengan asumsi kurs JISDOR akhir 2022 Rp15.592 per dolar AS.
Dikutip dari Reuters, surplus neraca transaksi berjalan Rusia sepanjang tahun lalu melonjak 86% dibandingkan 2021 dan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Raihan itu didorong oleh impor yang anjlok, disaat bersamaan ekspor minyak dan gas terkerek naik untuk membuat aliran modal asing tetap masuk, meski negara ini diisolasi negara Barat. Impor Rusia turun tajam pada tahun lalu di tengah eksodus perusahaan-perusahaan Barat yang menjatuhkan sanksi terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina.
Di sisi lain, Kremlin berhasil mengganti pendapatan yang hilang dari ekspor minyak dan gasnya ke Eropa dengan menjadikan negara-negara Asia menjadi alternatif tujuan seperti China hingga India.
Berdasarkan data Bea Cukai Cina, perdagangan antara negara dengan Rusia mencapai rekor tertinggi mencapai USD190 miliar tahun lalu. Hingga kini perang Rusia dan Ukraina yang meletus sejak Februari 2022, belum jelas kapan bakal berakhir.
(akr)