RUU Ciptaker Buat Pemda Kehilangan Wewenang Mengelola Kekayaan Daerah

Rabu, 29 April 2020 - 17:26 WIB
loading...
RUU Ciptaker Buat Pemda Kehilangan Wewenang Mengelola Kekayaan Daerah
Ilustrasi Omnibus Law RUU Cipta Tenaga Kerja. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menemukan catatan permasalahan pada Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Omnimbus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Permasalahan tersebut adalah hilangnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola kekayaan daerah masing-masing.

Ketua Komite II DPD Yorrys Raweyai mengatakan penjelasan dalam draft RUU Cipta Lapangan Kerja mengembalikan kewenangan pengambilan keputusan atas pengelolaan kekayaan mulai dari perizinan hingga pembinaan pada tingkat Pemerintah Pusat.

Alhasil, pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten dan kota tidak akan memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya ekonominya sendiri dan cenderung harus menunggu pendelegasian tugas dari pemerintah. "Hal ini bertolak belakang dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah," ucap Yorrys di Jakarta, Rabu (29/4/2020).

Ia menambahkan standar upah minimum pekerja menggunakan standar provinsi (UMP) juga menjadi catatan Komite II DPD. Dalam aturan sebelumnya, PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, diatur bahwa standar yang digunakan adalah standar kabupaten dan kota (UMK).

Menurutnya, upah minimum yang berpatokan pada UMP hanya akan menguntungkan kelompok pekerja di daerah tertentu saja, misalnya pekerja yang bekerja di DKI Jakarta.

"Di daerah lainnya, pekerja akan dirugikan karena UMP di berbagai daerah provinsi lebih rendah dibandingkan standar UMK," tuturnya.

Yorrys juga menyoroti dihapusnya ketentuan upah minum sektoral kabupaten dan sektoral kabupaten (UMSK). Dihapusnya UMSK sangat merugikan pekerja, UMPK dibagi berdasarkan sektoral karena upah antar sektor berbeda sesuai dengan beban kerja yang bervariasi.

"Tentu saja, beban kerja sektor manufaktur berbeda dengan beban kerja sektor jasa," terangnnya.

Selain itu, aturan pembayaran upah berdasarkan jam kerja juga menjadi catatan Komite II DPD. Pengusaha dapat membayar pekerja berdasarkan jam kerja jika pekerja tersebut bekerja kurang dari 40 jam. Hal tersebut akan menjadi peluang bagi pengusaha untuk membayar pekerja lebih murah dari seharusnya.

"Pengusaha dapat mencari celah untuk mengalihkan pembayaran bulanan menjadi pembayaran per jam. Misalnya hanya memperkerjakan pekerja dalam empat hari saja. Sehingga, mekanisme pembayaran berdasarkan jam kerja cenderung akan dipilih oleh para pengusaha," kata Yorrys.
(bon)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1892 seconds (0.1#10.140)