Ekonomi China Digebuk Praktik Shadow Banking yang Nilainya Rp45.000 Triliun, Begini Penjelasannya!

Sabtu, 19 Agustus 2023 - 15:02 WIB
loading...
Ekonomi China Digebuk...
Ekonomi China terjerat praktik shadow banking yang menjamur di sektor properti. Foto/foreignpolicy
A A A
JAKARTA - Ekonomi China terancam krisis gara-gara permasalahan sektor porperti di negara itu. Sektor properti di China terlibat dalam praktik shadow banking yang nilanya mencapai USD3 triliun, sebesar ekonomi Inggris.



Banyak pengembang properti yang terlibat praktik shadow banking kesulitan untuk membayar utangnya. Bahkan, menimpa pengembang properti tepercaya sekalipun, seperti Zhongrong International Trust Co.

Di Indonesia praktik shadow banking biasanya disematkan pada peminjaman uang di rentenir. Bisa juga, yang lebih modern kepada pinjaman online alias pinjol bodong yang tak terdaftar dan berizin di OJK.

Di China, praktik shadow banking-nya lebih canggih dan kompleks lagi. Pertanyaannya, mengapa praktik shadow banking pada sektor properti di China begitu menjamur?

Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management, dalam akun Twitternya menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan maraknya shadow banking di China.

Shadow banking adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan keuangan di luar sistem perbankan tradisional yang tidak diatur atau diawasi secara ketat oleh otoritas keuangan. Termasuk kegiatan di pasar modal karena diawasi otoritas.

"Bukan produk bank, bukan produk pasar modal, tapi didistribusikan seolah2 seperti produk bank dan pasar modal. Dana kelolaan di shadow banking China diperkirakan USD3 triliun atau Rp45.000 triliun," tulis Rudiyanto, dikutip Sabtu (19/8/2023).

Menurut Rudiyanto, shadow banking di China sebenarnya simalakama dari pertumbuhan ekonominya tinggi dan kondisi sosial yang stabil selama puluhan tahun. Proyek properti yang nilainya besar, padat karya, dan kalau harganya naik, bagi pemilik rumah menjadi investasi menguntungkan.

"Namun regulator China mulai membatasi bank dalam memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah. Alasan regulator sebenarnya baik, waktu itu booming properti sudah berlebihan dan harga rumah semakin tidak terjangkau," tambah Rudiyanto.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1332 seconds (0.1#10.140)