Ekonomi China Digebuk Praktik Shadow Banking yang Nilainya Rp45.000 Triliun, Begini Penjelasannya!
loading...
A
A
A
Di satu sisi, kebutuhan properti begitu besar dan pemerintah daerah di China punya target yang harus dicapai. Muncullah, LGFV (Local Government Funding Vehicles) atau UDICs (Urban Development and Investment Companies), “vehicle” khusus yang dikendalikan atau dikuasai pemerintah daerah
"LGFV ini seperti Efek Beragun Aset kalau di Indonesia, ada yang jalan tol, kereta api, proyek perumahan, atau proyek tertentu. Jumlahnya mencapai ribuan dan secara pembukuan berdiri sendiri tetapi dianggap aman karena milik pemerintah daerah dan menguntungkan karena bunga di atas deposito
"Skema seperti di atas sekilas mirip seperti menerbitkan surat utang atau disebut obligasi, mengapa disebut Shadow Banking?" kata Rudiyanto.
Instrumen LGFV ini selanjutnya dibeli oleh dana perwalian (trust fund) dan “dibungkus” ulang dalam berbagai bentuk supaya tidak muncul dalam laporan bank. Misalnya dalam bentuk pinjaman antarbank, pinjaman ke industri keuangan non-bank, tagihan akseptasi perbankan, reverse repo dan sebagainya.
Jadi di atas kertas, bank sewaktu membeli seperti menempatkan deposito di Trust Fund, bukan memberikan kredit ke properti yang ada batasannya. Cara lain, membungkus ulang surat pinjaman tersebut ke dalam nominal yang lebih kecil dan dijual ke asuransi, reksa dana, retail dan High Net Work dikenal dengan Wealth Management Product (WMP).
"Produk wealth, ketika dibeli nasabah, tidak dicatat dalam buku bank--off balance sheet. Dengan bank menjadi 'agen penjual' surat utang LGFV dan sejenisnya, sebetulnya bank memberikan kredit kepada mereka tapi pakai uang nasabah, makanya disebut shadow banking," jelas Rudiyanto.
LGFV ini kemudian muncul versi swastanya juga, karena developer partikelir juga berekspansi besar-besaran. Dari mana pemda-pemda di China punya dana untuk membayar?
"Ini masalahnya, tidak semua proyek pemerintah itu menguntungkan, kadang ada yang politis, over budget, mercusuar, atau tidak dibutuhkan sehingga pemda jual tanah dengan harga tinggi dan naikkan pajak properti yg membuat harganya makin mahal," katanya.
Mengapa sekarang shadow banking bermasala? Lock down yang terlalu lama, perlambatan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, perang dagang, menyebabkan daya beli menurun dan harga properti turun 10-20an%. Kemudian perusahaan properti terbesar di sana sudah bermasalah selama bertahun-tahun.
"LGFV ini seperti Efek Beragun Aset kalau di Indonesia, ada yang jalan tol, kereta api, proyek perumahan, atau proyek tertentu. Jumlahnya mencapai ribuan dan secara pembukuan berdiri sendiri tetapi dianggap aman karena milik pemerintah daerah dan menguntungkan karena bunga di atas deposito
"Skema seperti di atas sekilas mirip seperti menerbitkan surat utang atau disebut obligasi, mengapa disebut Shadow Banking?" kata Rudiyanto.
Instrumen LGFV ini selanjutnya dibeli oleh dana perwalian (trust fund) dan “dibungkus” ulang dalam berbagai bentuk supaya tidak muncul dalam laporan bank. Misalnya dalam bentuk pinjaman antarbank, pinjaman ke industri keuangan non-bank, tagihan akseptasi perbankan, reverse repo dan sebagainya.
Jadi di atas kertas, bank sewaktu membeli seperti menempatkan deposito di Trust Fund, bukan memberikan kredit ke properti yang ada batasannya. Cara lain, membungkus ulang surat pinjaman tersebut ke dalam nominal yang lebih kecil dan dijual ke asuransi, reksa dana, retail dan High Net Work dikenal dengan Wealth Management Product (WMP).
"Produk wealth, ketika dibeli nasabah, tidak dicatat dalam buku bank--off balance sheet. Dengan bank menjadi 'agen penjual' surat utang LGFV dan sejenisnya, sebetulnya bank memberikan kredit kepada mereka tapi pakai uang nasabah, makanya disebut shadow banking," jelas Rudiyanto.
LGFV ini kemudian muncul versi swastanya juga, karena developer partikelir juga berekspansi besar-besaran. Dari mana pemda-pemda di China punya dana untuk membayar?
"Ini masalahnya, tidak semua proyek pemerintah itu menguntungkan, kadang ada yang politis, over budget, mercusuar, atau tidak dibutuhkan sehingga pemda jual tanah dengan harga tinggi dan naikkan pajak properti yg membuat harganya makin mahal," katanya.
Mengapa sekarang shadow banking bermasala? Lock down yang terlalu lama, perlambatan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat, perang dagang, menyebabkan daya beli menurun dan harga properti turun 10-20an%. Kemudian perusahaan properti terbesar di sana sudah bermasalah selama bertahun-tahun.