Deflasi Jadi Sinyal Daya Beli Masyarakat Kritis Akibat Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan pada Juli 2020 terjadi deflasi sebesar 0,10% sungguh bukan berita menggembirakan. Deflasi bisa jadi sinyal kondisi daya beli masyarakat sudah mengkhawatirkan akibat pandemi Covid-19.
Bahkan bagi Kepala BPS Suhariyanto, deflasi pada Juli 2020 ini sangat tidak wajar. Pasalnya, deflasi terjadi pada bulan kedua pasca-Idulfitri yang biasanya harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya masih mengalami kenaikan.
“Apakah wajar di bulan kedua sesudah Ramadhan dan Lebaran malah deflasi ? Coba kita lihat 2019, dua bulan sesudah Ramadhan dan Lebaran apakah terjadi deflasi? Tidak. Itu (deflasi) terjadinya bulan ketiga,” kata Suhariyanto di Jakarta kemarin. (Baca: Juli terjadi Deflasi, Biaya Sekolah Tetap Masih Mahal)
Suhariyanto mengaku dampak pandemi Covid-19 sangat memengaruhi pergerakan inflasi tahun ini. “Seperti saya sampaikan, pergerakan inflasi tahun ini beda jauh dengan tahun sebelumnya karena Covid-19,” tuturnya.
Dia menambahkan, tahun sebelumnya ketika keadaan normal, Ramadhan dan Lebaran jadi puncak tingginya inflasi. Hal itu wajar mengingat permintaan meningkat dan uang beredar pun banyak. Akan tetapi, kondisi sekarang ini berbanding terbalik. “Namun, itu tidak terjadi tahun ini, ya memang tidak wajar karena situasinya memang tidak normal,” jelasnya.
Menurut pengamat ekonomi Piter Abdullah, deflasi secara teori tidak menguntungkan perekonomian Indonesia. Hal tersebut karena deflasi merefleksikan rendahnya permintaan masyarakat. Selain itu, deflasi juga tidak memberikan insentif kepada dunia usaha untuk berproduksi. (Baca juga: Mengaku HRD, Sopir Angkot Peras dan Tiduri Empat Wanita Pencari Kerja)
Piter menuturkan, deflasi atau inflasi yang sangat rendah masih berpotensi terjadi selama wabah Covid-19 masih berlangsung. Bahkan kondisi ini diprediksi masih akan berlanjut hingga awal tahun depan.
Pengamat ekonomi Josua Pardede menilai, tekanan inflasi yang rendah mengindikasikan tingkat konsumsi masyarakat cenderung masih dalam tren menurun dari awal tahun hingga awal kuartal III/2020 ini. Hal ini karena masyarakat menengah ke bawah penghasilannya menurun akibat pandemi Covid-19 .
Menurut dia, kebijakan PSBB di berbagai daerah telah membuat penurunan pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor nonformal. “Ini karena peraturan PSBB dan sebagian yang bekerja di sektor formal pun mengalami PHK atau dirumahkan oleh perusahaan sehingga pada akhirnya mendorong penurunan pengeluaran,” ungkap Josua.
Penurunan daya beli juga diperparah oleh sikap masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang menahan konsumsi dan bahkan cenderung memilih uangnya ditaruh di bank. Apalagi, dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang diharapkan bisa mendongkrak daya beli masyarakat, tingkat penyerapannya masih rendah.
Bahkan bagi Kepala BPS Suhariyanto, deflasi pada Juli 2020 ini sangat tidak wajar. Pasalnya, deflasi terjadi pada bulan kedua pasca-Idulfitri yang biasanya harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya masih mengalami kenaikan.
“Apakah wajar di bulan kedua sesudah Ramadhan dan Lebaran malah deflasi ? Coba kita lihat 2019, dua bulan sesudah Ramadhan dan Lebaran apakah terjadi deflasi? Tidak. Itu (deflasi) terjadinya bulan ketiga,” kata Suhariyanto di Jakarta kemarin. (Baca: Juli terjadi Deflasi, Biaya Sekolah Tetap Masih Mahal)
Suhariyanto mengaku dampak pandemi Covid-19 sangat memengaruhi pergerakan inflasi tahun ini. “Seperti saya sampaikan, pergerakan inflasi tahun ini beda jauh dengan tahun sebelumnya karena Covid-19,” tuturnya.
Dia menambahkan, tahun sebelumnya ketika keadaan normal, Ramadhan dan Lebaran jadi puncak tingginya inflasi. Hal itu wajar mengingat permintaan meningkat dan uang beredar pun banyak. Akan tetapi, kondisi sekarang ini berbanding terbalik. “Namun, itu tidak terjadi tahun ini, ya memang tidak wajar karena situasinya memang tidak normal,” jelasnya.
Menurut pengamat ekonomi Piter Abdullah, deflasi secara teori tidak menguntungkan perekonomian Indonesia. Hal tersebut karena deflasi merefleksikan rendahnya permintaan masyarakat. Selain itu, deflasi juga tidak memberikan insentif kepada dunia usaha untuk berproduksi. (Baca juga: Mengaku HRD, Sopir Angkot Peras dan Tiduri Empat Wanita Pencari Kerja)
Piter menuturkan, deflasi atau inflasi yang sangat rendah masih berpotensi terjadi selama wabah Covid-19 masih berlangsung. Bahkan kondisi ini diprediksi masih akan berlanjut hingga awal tahun depan.
Pengamat ekonomi Josua Pardede menilai, tekanan inflasi yang rendah mengindikasikan tingkat konsumsi masyarakat cenderung masih dalam tren menurun dari awal tahun hingga awal kuartal III/2020 ini. Hal ini karena masyarakat menengah ke bawah penghasilannya menurun akibat pandemi Covid-19 .
Menurut dia, kebijakan PSBB di berbagai daerah telah membuat penurunan pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor nonformal. “Ini karena peraturan PSBB dan sebagian yang bekerja di sektor formal pun mengalami PHK atau dirumahkan oleh perusahaan sehingga pada akhirnya mendorong penurunan pengeluaran,” ungkap Josua.
Penurunan daya beli juga diperparah oleh sikap masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang menahan konsumsi dan bahkan cenderung memilih uangnya ditaruh di bank. Apalagi, dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang diharapkan bisa mendongkrak daya beli masyarakat, tingkat penyerapannya masih rendah.