Operasi Badai Al-Aqsa Mengguncang Pasar Minyak Mentah, Harga Brent Melonjak 2% Lebih

Senin, 09 Oktober 2023 - 17:54 WIB
loading...
Operasi Badai Al-Aqsa Mengguncang Pasar Minyak Mentah, Harga Brent Melonjak 2% Lebih
Harga minyak mentah melonjak lebih dari 2% pada perdagangan awal pekan di tengah kekhawatiran meluasnya konflik di Timur Tengah dipicu operasi badai Al-Aqsa. Foto/Dok Reuters
A A A
GAZA - Harga minyak mentah melonjak lebih dari 2% pada perdagangan awal pekan, Senin (9/10/2023) di tengah kekhawatiran meluasnya konflik di Timur Tengah. Hal itu dipicu oleh bentrokan militer antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas yang melayangkan operasi badai Al-Aqsa .



Harga minyak mentah Brent terpantau menanjak naik USD2,28 atau setara 2,7%, menjadi USD86,86 per barel. Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate AS berada di level USD85,23 per barel usai mengalami peningkatan sebesar USD2,44 atau hampir 3%.

Kedua tolok ukur minyak dunia iru melonjak lebih dari USD4 per barel di awal sesi. Lonjakan harga minyak hari ini membalikkan tren pelemahan pada minggu lalu, dimana menjadi penurunan mingguan terbesar sejak Maret.

Dimana Brent tercatat turun hingga 11% dan WTI mundur lebih dari 8% karena prospek ekonomi makro yang gelap meningkatkan kekhawatiran tentang permintaan global.



Sementara keseimbangan penawaran-permintaan yang mendasarinya tidak terpengaruh, kata Tamas Varga dari broker minyak PVM, "setiap kenaikan ketegangan di Timur Tengah biasanya mengarah pada kenaikan harga minyak dan tidak berbeda kali ini".

Hamas pada hari Sabtu meluncurkan serangan militer terbesar terhadap Israel dalam beberapa dekade, memicu gelombang serangan udara pembalasan Israel di Gaza.

Letusan aksi militer mengancam upaya AS (Amerika Serikat) yang sedang menengahi pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Israel, di mana kerajaan akan menormalkan hubungan dengan Israel dengan imbalan kesepakatan pertahanan antara Washington dan Riyadh.

Para pejabat Saudi dilaporkan pada hari Jumat, mengatakan kepada Gedung Putih bahwa mereka bersedia untuk meningkatkan produksi tahun depan sebagai bagian dari kesepakatan Israel yang diusulkan. Riyadh dan Moskow telah menyetujui pemotongan sukarela gabungan sebesar 1,3 juta barel per hari (bph) hingga akhir 2023.

"Pertanyaannya adalah berapa lama reli minyak ini akan berlangsung," kata analis Citi.

"Waktu adalah segalanya dan serangan hampir pasti menunda pemulihan hubungan Saudi-Israel, bersama dengan ekspektasi probabilitas tinggi Arab Saudi mengurangi atau menghilangkan pemotongan tambahan 1 juta barel per hari jika harga (minyak) melanjutkan penurunan baru-baru ini," proyeksinya.

Ada juga pertanyaan tentang apakah Iran akan terlibat dalam konflik.

"Jika konflik menyelimuti Iran ... Maka hingga 3% dari pasokan minyak global berisiko. Dan jika konflik yang lebih luas terjadi yang akhirnya berdampak pada transit melalui Selat Hormuz, sekitar 20% pasokan minyak global dapat disandera," kata analis energi Saul Kavonic kepada Reuters.

Sementara itu Analis energi, Saul Kavonic mengatakan, bahwa harga minyak global telah meningkat "karena prospek tensi geopolitik dapat menyebar lebih luas ke negara-negara penghasil minyak utama terdekat seperti Iran dan Arab Saudi".

"Jika konflik menyelimuti Iran, yang dituduh mendukung serangan Hamas, maka 3% pasokan minyak global berisiko," tambah Kavonic.

Caroline Bain, kepala ekonom komoditas di Capital Economics, mengatakan kepada program Today BBC, bahwa Iran telah meningkatkan produksi minyak sepanjang tahun ini meskipun ada sanksi AS.

"AS tampaknya telah menutup mata terhadap peningkatan yang stabil dalam produksi Iran, bahwa ... akan lebih sulit bagi AS untuk mengabaikannya setelah ini," katanya.

Secara keseluruhan, Bain memperkirakan permintaan minyak akan melebihi pasokan dalam tiga bulan terakhir tahun ini dan "itu akan mendukung harga yang lebih tinggi".

Kavonic mengatakan, bahwa sekitar seperlima dari pasokan global akan "disandera" jika perjalanan melalui Selat Hormuz, rute perdagangan minyak vital terganggu. Selat Hormuz sangat penting bagi eksportir minyak utama di kawasan Teluk, yang ekonominya dibangun di sekitar produksi minyak dan gas.

Ketidakpastian tentang bagaimana serangan Hamas ke Israel dapat berkembang dalam beberapa hari mendatang juga dapat mendorong investasi ke obligasi Treasury AS dan dolar, yang secara tradisional dibeli investor pada saat krisis, kata James Cheo dari bank HSBC.

Pada hari Senin, bank sentral Israel mengatakan, akan menjual hingga USD30 miliar mata uang asing dalam upaya untuk menenangkan pasar dan mendukung mata uang negara itu sendiri, shekel yang telah turun tajam.

"Pada tahap ini, ada sedikit kegugupan. (Investor) ingin lebih banyak kejelasan, terutama pada data ekonomi dan perkembangan yang terkait dengan ketidakpastian geopolitik," tambah Cheo.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, harga minyak sempat melonjak hingga mencapai lebih dari USD120 per barel pada Juni tahun lalu.

Namun harga minyak jatuh kembali di atas USD70 per barel pada Mei tahun ini, tetapi terus meningkat sejak saat itu karena produsen telah mencoba membatasi produksi untuk mendukung pasar.

Arab Saudi, selaku produsen minyak utama, mengatakan akan melakukan pemotongan satu juta barel per hari pada Juli 2023, lalu. Anggota OPEC + lainnya, sekelompok negara penghasil minyak, juga sepakat untuk melanjutkan pengurangan produksi dalam upaya untuk menopang harga yang lesu.

OPEC+ tercatat menyumbang sekitar 40% dari minyak mentah dunia dan keputusannya dapat berdampak besar pada harga minyak.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2457 seconds (0.1#10.140)