Dua Bulan Penuh Harap Agar Indonesia Terhindar dari Jurang Resesi

Rabu, 05 Agustus 2020 - 09:15 WIB
loading...
Dua Bulan Penuh Harap Agar Indonesia Terhindar dari Jurang Resesi
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Hari ini Badan Pusat Statistik (BPS) bakal merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kuartal II/2020. Dipastikan angka pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) akan terkontraksi sekitar minus 4-6%.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2020 ini sudah diprediksi banyak pihak, termasuk pemerintah. Hanya, sejumlah ekonom dan pengamat juga memperkirakan kuartal III/2020 PDB Indonesia bakal negatif sehingga resesi tidak bisa terhindari.

Hebatnya, pemerintah tidak mau putus asa. Meski waktunya hanya kurang dari dua bulan, semua langkah bakal dilakukan untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi. Tugas dari Erick Thohir sebagai Ketua Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir sungguh sangat berat.

Erick harus bisa memastikan dan mengawal dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang sebesar Rp695 triliun dalam waktu kurang dari dua bulan ini, yakni Agustus dan September, bisa terserap maksimal. Syukur bisa terserap semuanya. (Baca: Jokowi: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Minus 17% Kalau Lockdown)

Saat ini seperti yang dilaporkan Presiden Jokowi dana PEN baru terserap 20 persennya. Dengan sisa dana PEN sekitar Rp500 triliun, jika benar-benar diserap ke sektor produktif dan bisa membuat daya beli masyarakat meningkat, bukan hal yang mustahil pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal positif di akhir September 2020.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja menaruh harapan besar agar Indonesia terhindar dari jurang resesi pada kuartal III/2020. Syaratnya, kata Shinta, optimalisasi stimulus harus dilakukan guna mendongkrak daya beli masyarakat agar ekonomi terus bergerak tumbuh. "Itu yang menjadi kunci, yakni menciptakan demand sehingga perlu realisasi stimulus untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan belanja pemerintah," paparnya di Jakarta kemarin.

Insentif Fiskal

Selain daya beli yang harus didongkrak untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi , seyogianya pemerintah tidak melupakan investasi sebagai salah satu instrumen penting PDB. Untuk menggaet investasi agar tetap masuk ke Indonesia, pemerintah harus memberikan insentif fiskal. Itu sebabnya, di tengah tren penurunan realisasi investasi global akibat pandemi Covid-19, pemberian insentif fiskal masih perlu dilakukan, bahkan ditingkatkan, agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. (Baca juga: Industri Rokok Dibunuh, Jutaan Pekerja Mau Ditaruh Dimana)

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan, meskipun pemberian insentif fiskal agak bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk melebarkan basis pajak dan meningkatkan rasio perpajakan alias tax ratio, namun hal ini harus dilakukan untuk bisa bersaing dengan negara berkembang lain dalam menarik investasi ke Indonesia. Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa Indonesia saat ini tengah berkompetisi dengan negara-negara berkembang, khususnya dalam konteks menarik investasi. "Investasi yang membuat perekonomian bergerak dan menghasilkan lapangan kerja baru," ujarnya.

Tak bisa dimpungkiri tax ratio berpotensi menurun akibat pemberian insentif fiskal dalam rangka menarik investasi. Meski demikian, pemberian insentif fiskal akan mendorong masuknya investasi yang dapat membawa lapangan pekerjaan baru yang pada gilirannya akan meningkatkan basis pajak dan tax ratio dalam jangka panjang. "Penting mana pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan perpajakan? Tentu pertumbuhan ekonomi. Penting mana pertumbuhan lapangan kerja atau pertumbuhan perpajakan? Tentu lapangan kerja," kata Febrio.

Vietnam, misalnya, memberikan insentif perpajakan yang sangat agresif. Begitu pula dengan negara di Asia Tenggara lain seperti Thailand dan Filipina. Banyak negara berlomba-lomba memberikan insentif fiskal sebagai pemanis untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya. (Baca juga: Arkeolog Israel Menemukan 'Wajah Tuhan')

Partner of Tax Research and Training Services DDTC, Bawono Kristiaji, mengamini, dalam fase pemulihan ekonomi, otoritas pajak secara global berlomba-lomba memberikan insentif pajak. Di tengah kompetisi tersebut, insentif pajak perlu diberikan dengan lebih tepat sasaran.

Menurut Bawono, korporasi membutuhkan insentif yang berbeda dalam setiap fase pemulihan ekonomi. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali jenis insentif, kriteria yang dapat memanfaatkan, durasi insentif, dampak dan efektivitas, serta administrasinya. “Pemberian insentif tidak bisa bersifat permanen dan disamakan dalam waktu lima tahun mendatang,” ungkapnya.

Seperti diketahui, realisasi investasi pada kuartal kedua tahun ini menurun jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu lantaran pandemi Covid-19. Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, BKPM akan terus mengejar investor yang telah menyatakan komitmen untuk menanamkan modal di Indonesia.

Menurut Bahlil, BKPM akan fokus membantu investor mengurus berbagai hal yang dibutuhkan seperti perizinan dari daerah hingga pusat dengan catatan investor tersebut benar-benar serius menanamkan modal di Indonesia. "Investor yang bawa modal, bawa teknologi, izinnya kami bantu,” katanya. BKPM juga berkomitmen untuk memfasilitasi permintaan investor jika mereka serius merealisasikan komitmennya, termasuk mengenai permintaan insentif fiskal. (Baca juga: Obat Kuat Bos OJK Pulihkan Ekonomi, Apa Saja?)

Ciptakan Rasa Aman

Selain penyerapan anggaran PEN, stimulus dan insentif fiskal, yang tak kalah penting agar geliat ekonomi terus berjalan, yakni menciptakan rasa aman. Ekonom senior Raden Pardede menegaskan, pemerintah harus memberikan rasa aman dan sehat kepada masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat percaya diri dalam membelanjakan uangnya. "Guna menghindari resesi ini, prasyarat di awal harus timbul dulu rasa aman dan sehat. Jangan hanya memusatkan perhatian ke ekonomi," harapnya.

Menurut Raden, bila pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal III/2020, maka Indonesia akan mengalami resesi. Begitu pula di kuartal IV, jika negatif maka masih disebut resesi. Manakala resesi berkelanjutan dan berlangsung lama bisa berujung pada depresi atau kebangkrutan dalam perekonomian. "Kalau tahun depan masih negatif berarti depresi ekonomi. Maka, ini harus dilakukan pencegahan di kuartal III agar jangan negatif," desaknya. (Lihat videonya: Menghindari Tabrakan, Sebuah Mobil Tercebur ke Laut)

Depresi ekonomi tentu harus dihindari. Ini bukan tugas pemerintah saja, pengusaha dan masyarakat pun harus punya tanggung jawab menjaga ekonomi Indonesia tetap tumbuh. Saatnya bekerja keras melebihi rutinitas! (Ferdi Rantung/Rina Anggraeni/Rakhmat Baihaqi)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1426 seconds (0.1#10.140)