Smart Fisheries Village Dongkrak Ekonomi Masyarakat Desa
loading...
A
A
A
CIAMIS - Suasana yang sejuk dan asri menjadi ciri khas kawasan pedesaan. Tak terkecuali di Banjarwaru, Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Hamparan sawah membentang luas laksana permadani hijau. Dengan pohon kelapa yang berjejer rapih dan air sungai yang masih jernih, desa itu kini menjadi salah satu tujuan wisata masyarakat lokal.
Iim Gala Permana terlihat serius mengamati kolam budidaya ikan Nila di Jalan Lingga Kencana, Banjarwaru. Beberapa orang tampak santai bercengkerama di Saung Sawala di sekitar kolam. “Kebetulan saya ditunjuk masyarakat sebagai Ketua Gapokan,”ujarnya. Gapokan merupakan singkatan dari Gabungan Kelompok Perikanan.
Kampung Nila, begitulah kawasan itu kini dikenal, saat ini menjadi salah satu pilot project keberhasilan perikanan budidaya. Dulu, budidaya ikan Nila di kawasan ini dilakukan secara tradisional. Setiap warga yang memiliki kolam budidaya Nila hanya mengelola seadanya. Panen pun dilakukan hanya saat ada pesanan dalam jumlah besar. “Saat ada hajatan, barulah ikan di panen. Bahkan ada yang setahun sekali panen,”ungkapnya.
Empat tahun lalu, Permana memiliki ide untuk mengembangkan budidaya Nila di kawasan itu agar lebih maju lagi. “Bermula dari kebutuhan ikan Nila untuk dijual. Sebelumnya kami dipasok dari Cirata dan Darma, namun sedikit kurang bagus,”ungkapnya. Akhirnya, dia mencoba alternatif lain selain dari Waduk Cirata dan Waduk Darma. “Kami mencoba budidaya di desa ini. Ternyata ikan Nila tak bau tanah karena kualitas air yang bagus,”imbuhnya.
Setahun berselang, permintaan ikan Nila dari desa Kawali pun membludak. Dia pun mengajak warga desa yang memiliki kolam untuk melakukan budidaya ikan Nila. “Sebelumnya warga kebingunan hendak menjual kemana. Namun karena pasarnya sudah ada, muncul semangat,”cetusnya.
Dengan membentuk kelompok, pembudidaya ikan Nila menjadi terorganisir. Tiga tahun lalu, kapasitas panen per kolam hanya mencapai tiga kuintal per tahun. Namun, sejak tahun lalu, produktivitas meningkat empat kali lipat. “Karena didukung program Smart Fisheries Village dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,”tegas Permana.
Dengan adanya Smart Fisheries Village (SFV) kegiatan budidaya ikan Nila menjadi terprogram. “Sekarang panen sudah tiga kuintal per siklus per kolam. Jadi per kolam bisa menghasilkan sembilan kuintal per tahun,bahkan ada yang mencapai 1,2 ton,”paparnya. Dengan jumlah kolam budidaya mencapai 100 kolam, volume ikan Nila yang dihasilkan mencapai 90 ton per tahun. Dengan harga jual di kawasan itu yang mencapai Rp33.000 per kilogram, omzet budidaya ikan Nila di desa Kawali mencapai Rp2,97 miliar per tahun. “Memang sejak ada SFV, kesejahteraan masyarakat meningkat tajam,”lanjutnya.
SFV sendiri merupakan program yang dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) untuk memperkuat kemandirian desa berbasis usaha perikanan. SFV mengadopsi teknologi informasi dalam proses produksi perikanan budidaya. Mulai dari praproduksi, produksi, dan setelah produksi menggunakan aplikasi digital yang dapat memonitor perkembangan budidaya. “Untuk memberikan pakan dan menggerakkan kincir air menggunakan aplikasi digital sehingga terukur dan bisa dimonitor secara real time,”ujar Permana. Dengan menggunakan metode Bioflok, produktivitas buidaya ikan Nila meningkat tajam.
Para pelaku budidaya ikan Nila di desa itu mendapatkan beragan pelatihan dari KKP. Mulai dari pemanfaatan teknologi informasi, pengolahan, hingga manajemen pemasaran. “Sekarang juga ada kelompok pengolah dan pemasar,”ujarnya.
Iim Gala Permana terlihat serius mengamati kolam budidaya ikan Nila di Jalan Lingga Kencana, Banjarwaru. Beberapa orang tampak santai bercengkerama di Saung Sawala di sekitar kolam. “Kebetulan saya ditunjuk masyarakat sebagai Ketua Gapokan,”ujarnya. Gapokan merupakan singkatan dari Gabungan Kelompok Perikanan.
Kampung Nila, begitulah kawasan itu kini dikenal, saat ini menjadi salah satu pilot project keberhasilan perikanan budidaya. Dulu, budidaya ikan Nila di kawasan ini dilakukan secara tradisional. Setiap warga yang memiliki kolam budidaya Nila hanya mengelola seadanya. Panen pun dilakukan hanya saat ada pesanan dalam jumlah besar. “Saat ada hajatan, barulah ikan di panen. Bahkan ada yang setahun sekali panen,”ungkapnya.
Empat tahun lalu, Permana memiliki ide untuk mengembangkan budidaya Nila di kawasan itu agar lebih maju lagi. “Bermula dari kebutuhan ikan Nila untuk dijual. Sebelumnya kami dipasok dari Cirata dan Darma, namun sedikit kurang bagus,”ungkapnya. Akhirnya, dia mencoba alternatif lain selain dari Waduk Cirata dan Waduk Darma. “Kami mencoba budidaya di desa ini. Ternyata ikan Nila tak bau tanah karena kualitas air yang bagus,”imbuhnya.
Setahun berselang, permintaan ikan Nila dari desa Kawali pun membludak. Dia pun mengajak warga desa yang memiliki kolam untuk melakukan budidaya ikan Nila. “Sebelumnya warga kebingunan hendak menjual kemana. Namun karena pasarnya sudah ada, muncul semangat,”cetusnya.
Dengan membentuk kelompok, pembudidaya ikan Nila menjadi terorganisir. Tiga tahun lalu, kapasitas panen per kolam hanya mencapai tiga kuintal per tahun. Namun, sejak tahun lalu, produktivitas meningkat empat kali lipat. “Karena didukung program Smart Fisheries Village dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,”tegas Permana.
Dengan adanya Smart Fisheries Village (SFV) kegiatan budidaya ikan Nila menjadi terprogram. “Sekarang panen sudah tiga kuintal per siklus per kolam. Jadi per kolam bisa menghasilkan sembilan kuintal per tahun,bahkan ada yang mencapai 1,2 ton,”paparnya. Dengan jumlah kolam budidaya mencapai 100 kolam, volume ikan Nila yang dihasilkan mencapai 90 ton per tahun. Dengan harga jual di kawasan itu yang mencapai Rp33.000 per kilogram, omzet budidaya ikan Nila di desa Kawali mencapai Rp2,97 miliar per tahun. “Memang sejak ada SFV, kesejahteraan masyarakat meningkat tajam,”lanjutnya.
SFV sendiri merupakan program yang dikembangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ) untuk memperkuat kemandirian desa berbasis usaha perikanan. SFV mengadopsi teknologi informasi dalam proses produksi perikanan budidaya. Mulai dari praproduksi, produksi, dan setelah produksi menggunakan aplikasi digital yang dapat memonitor perkembangan budidaya. “Untuk memberikan pakan dan menggerakkan kincir air menggunakan aplikasi digital sehingga terukur dan bisa dimonitor secara real time,”ujar Permana. Dengan menggunakan metode Bioflok, produktivitas buidaya ikan Nila meningkat tajam.
Para pelaku budidaya ikan Nila di desa itu mendapatkan beragan pelatihan dari KKP. Mulai dari pemanfaatan teknologi informasi, pengolahan, hingga manajemen pemasaran. “Sekarang juga ada kelompok pengolah dan pemasar,”ujarnya.