Mengatasi Zero Odol di Tengah Pembenahan Kelas Jalan, Butuh Terminal Handling
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mengatasi permasalahan Over Dimension Overload (ODOL) dinilai butuh pembenahan terhadap kelas jalan yang menjadi penentu utama dari peningkatan daya saing logistik Indonesia. Ketua Majelis Profesi dan Etik Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Agus Taufik Mulyono menerangkan, masalah status dan fungsi jalan merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini.
Masalahnya kata Agus, pabrik untuk komoditi ekspor itu tidak ada yang berada di kota. Semua berada di desa atau kecamatan. Jadi, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk itu pasti akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai lingkungan primer atau jalan lokal, kolektor 3 atau jalan kabupaten, kolektor 2 atau jalan provinsi, dan kolektor 1 atau jalan arteri. Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk-truk itu dari pabrik menuju pelabuhan utama juga beda. Ada jalan kelas 3, kelas 2, dan kelas 1.
Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan. Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat.
“Nah, masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.
Fakta-fakta seperti inilah yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu, khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar.
“Jadi, carut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tukas Agus.
Sementara, pemerintah sulit untuk merealisasikan perbaikan kelas jalan ini karena minimnya anggaran dari pemerintah pusat dan daerah. "Ini harus sepakat, karena menaikan kelas jalan itu menimbulkan dampak kebutuhan anggaran jalan. Jadi, anggaran jalan harus dinaikan juga," ungkap Direktur Jenderal Bina Marga dan Cipta Karya Kementerian PUPR, Hedy Rahadian di Jakarta baru-baru ini.
Masalahnya kata Agus, pabrik untuk komoditi ekspor itu tidak ada yang berada di kota. Semua berada di desa atau kecamatan. Jadi, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk itu pasti akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai lingkungan primer atau jalan lokal, kolektor 3 atau jalan kabupaten, kolektor 2 atau jalan provinsi, dan kolektor 1 atau jalan arteri. Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk-truk itu dari pabrik menuju pelabuhan utama juga beda. Ada jalan kelas 3, kelas 2, dan kelas 1.
Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan. Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat.
“Nah, masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.
Fakta-fakta seperti inilah yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu, khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar.
“Jadi, carut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tukas Agus.
Sementara, pemerintah sulit untuk merealisasikan perbaikan kelas jalan ini karena minimnya anggaran dari pemerintah pusat dan daerah. "Ini harus sepakat, karena menaikan kelas jalan itu menimbulkan dampak kebutuhan anggaran jalan. Jadi, anggaran jalan harus dinaikan juga," ungkap Direktur Jenderal Bina Marga dan Cipta Karya Kementerian PUPR, Hedy Rahadian di Jakarta baru-baru ini.