Terungkap, Ini Biang Kerok Harga Panas Bumi Tidak Konsisten
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa tantangan pengembangan panas bumi terbesar di Indonesia adalah risiko eksplorasi. Risko kedua terbesar setelahnya adalah harga panas bumi yang tidak konsisten.
"Kalau kita lihat, kebijakan harga panas bumi sejak 2008 mengalami pergantian terus menerus. Dalam periode 2008-2017, kurang dari 10 tahun, sudah ada perubahan 6 kali untuk harga pembelian listrik dari panas bumi," ujar Fabby dalam Market Review IDX Channel Live di Jakarta, Selasa (11/8/2020).
(Baca Juga: Pengembangan Energi Panas Bumi Terganjal Panasnya Investasi)
Dia mengatakan, tidak konsistennya harga ini menimbulkan risiko tersendiri, mengingat pengembangan panas bumi butuh waktu sekitar 11-13 tahun, mulai dari persiapan, eksplorasi, hingga operasi. "Mengapa harga tidak konsisten? Karena untuk panas bumi, keekonomian antarlapangan berbeda-beda, ditentukan dari olah lokasi, kapasitas, lalu biaya eksplorasi," tambah Fabby.
Selama ini, sambung dia, harga listrik panas bumi dikonteskan dengan harga listrik PLN. Dibandingkan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN, ditambah komposisi pembangkit listrik dengan energi nonterbarukan, usianya sudah tua 15-20 tahun, dan pengembalian investasi yang sudah selesai, panas bumi dalam posisi yang sulit.
(Baca Juga: Pengembangan Energi Panas Bumi, Antara Lemahnya Infrastruktur dan Potensi)
"Sehingga, harga panas bumi menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah selalu mendorong agar harga panas bumi itu semakin rendah. Selain itu, kalau investor melihat ada ketidakpastian dalam harga panas bumi, tentunya mereka akan kesulitan menentukan apakah mereka akan berinvestasi di Indonesia atau tidak," terang Fabby.
"Kalau kita lihat, kebijakan harga panas bumi sejak 2008 mengalami pergantian terus menerus. Dalam periode 2008-2017, kurang dari 10 tahun, sudah ada perubahan 6 kali untuk harga pembelian listrik dari panas bumi," ujar Fabby dalam Market Review IDX Channel Live di Jakarta, Selasa (11/8/2020).
(Baca Juga: Pengembangan Energi Panas Bumi Terganjal Panasnya Investasi)
Dia mengatakan, tidak konsistennya harga ini menimbulkan risiko tersendiri, mengingat pengembangan panas bumi butuh waktu sekitar 11-13 tahun, mulai dari persiapan, eksplorasi, hingga operasi. "Mengapa harga tidak konsisten? Karena untuk panas bumi, keekonomian antarlapangan berbeda-beda, ditentukan dari olah lokasi, kapasitas, lalu biaya eksplorasi," tambah Fabby.
Selama ini, sambung dia, harga listrik panas bumi dikonteskan dengan harga listrik PLN. Dibandingkan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN, ditambah komposisi pembangkit listrik dengan energi nonterbarukan, usianya sudah tua 15-20 tahun, dan pengembalian investasi yang sudah selesai, panas bumi dalam posisi yang sulit.
(Baca Juga: Pengembangan Energi Panas Bumi, Antara Lemahnya Infrastruktur dan Potensi)
"Sehingga, harga panas bumi menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah selalu mendorong agar harga panas bumi itu semakin rendah. Selain itu, kalau investor melihat ada ketidakpastian dalam harga panas bumi, tentunya mereka akan kesulitan menentukan apakah mereka akan berinvestasi di Indonesia atau tidak," terang Fabby.
(fai)