Pajak Hiburan Naik hingga 75%, Pengusaha dan Konsumen Bisa Kabur

Senin, 15 Januari 2024 - 13:24 WIB
loading...
Pajak Hiburan Naik hingga...
Kenaikan pajak yang sangat tinggi dikhawatirkan membuat konsumen kabur dan industri hiburan mati suri. Foto/Dok./Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kenaikan tarif pajak hiburan menjadi 40-75% akan sangat berdampak bagi industri maupun konsumen.

Untuk diketahui, pajak hiburan diatur dalam Undang-undang No 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Fajry menjelaskan, dalam UU HKPD tersebut kini ada batas tarif minimum sebesar 40% yang dulunya tidak ada. Alhasil, kata dia, beberapa daerah akan mengalami kenaikan tarif yang cukup signifikan untuk kegiatan hiburan.

"Contohnya, di daerah kabupaten Badung, yang merupakan pusat wisata Bali, akan mengalami kenaikan tarif dari 15% ke 40% sampai 75%. Begitu pula dengan Jakarta, dari 25% akan meningkat 40-75%," terangnya ketika dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (15/1/2024).



Dengan kenaikan tarif yang sangat besar tersebut, kata Fajry, tentunya industri hiburan di kedua daerah itu akan terdampak. Kenaikan pajak ini menurutnya akan menaikkan harga yang yang dibayarkan oleh konsumen dan/atau mengurangi keuntungan dari pemilik usaha.

Dampaknya, lanjut dia, bisa cukup serius. "Dengan harga tiket ke luar negeri yang kini murah, kenaikan tarif ini akan menjadi tantangan besar bagi para pelaku usaha. Konsumen bisa saja memilih opsi ke luar negeri. Begitu pula dengan pengusaha, kalau konsumennya kabur mereka juga pasti akan kabur," ujar Fajry.

Dampak selanjutnya, sambung dia, adalah bagi pemasukan daerah masing-masing. Sementara daerah yang sejak awal tarifnya sudah tinggi, hal itu tak akan berpengaruh. "Seperti Bogor, tarifnya sudah 75%, ketentuan ini tidak akan berdampak. Karena sedari awal, tarifnya sudah tinggi," tuturnya.

Fajry mengaku sangat menyayangkan keberadaan klausa minimum 40% dalam UU HKPD tersebut. Menurut dia, seharusnya daerah diberi keluasaan untuk menentukan tarif yang sesuai. "Kalau daerah pusat wisata hiburan malam seperti Bali, tidak boleh tinggi-tinggi tarifnya biar industri pariwisatanya dapat tumbuh," kata dia.

Namun demikian, Fajry pesimistis jika aturan baru ini dapat diubah. Pasalnya, kata dia, UU HKPD baru berlaku. "Jadi sulit untuk mengubah atau merevisinya lagi. Terlebih kita akan memasuki tahun pemilihan dan dengan anggota DPR yang baru. Tapi ada yang mengajukan judicial review," ungkapnya.



Sebelumnya, Pengacara Hotman Paris Hutapea mengeluhkan pungutan pajak usaha jasa kesenian dan hiburan mencapai 40%. Hal itu dikeluhkan melalui unggahan reels di Instagram miliknya @hotmanparisofficial, Sabtu (6/1).

Dia menilai tingginya pajak tersebut dapat mematikan usaha jasa hiburan. Hotman mengajak pelaku usaha hiburan protes terkait hal tersebut. "Apa ini benar!? Pajak 40 persen? Mulai berlaku Januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakkk," tulis Hotman dalam unggahannya.

Keluhan juga dilontarkan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang menilai kenaikan pajak hiburan 40% mengancam industri pariwisata di Indonesia. Hal tersebut dinilai tidak konsisten terhadap cita-cita pemerintah untuk meningkatkan sektor pariwisata di Tanah Air.

Sekretaris Jendral PHRI Maulana Yusran mengatakan, besarnya kenaikan pajak tersebut tentunya bakal direspons oleh para pelaku usaha untuk menaikan harga jual barang atau jasa di sektor hiburan yang akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.

"Ketika harga produk pariwisata di Indonesia lebih mahal, sudah barang tentu sektor pariwisata di Indonesia akan kalah saing dengan negara-negara tetangga yang punya harga lebih kompetitif," tandasnya.
(fjo)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1822 seconds (0.1#10.140)