Jangan Komoditas, Produk Bernilai Tambah Mestinya Jadi Andalan Ekspor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia dinilai sudah saatnya mendorong perdagangan internasional berbasis nilai tambah. Pasalnya, tren perdagangan ekonomi di dunia itu memiliki rantai nilai tambah yang panjang.
" Ekspor Indonesia itu sebagian besarnya mengandalkan berbasis komoditi, yang tidak mempunyai nilai tambah seperti batu bara," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian dalam diskusi secara virtual, Rabu (12/8/2020).
(Baca Juga: Jika Mentok di CPO Saja, Masa Depan Industri Sawit Tak Berkembang)
Ia mencontohkan, salah satu produk yang mempunyai rantai nilai tambah yang panjang adalah kelapa sawit . Selama ini, kata Dzulfian, Indonesia kurang memanfaatkan nilai tambah yang dimiliki oleh kelapa sawit.
"Perkebunan kelapa sawit untuk diambil bijinya dan kemudian diolah menjadi minyak mentah sawit, yang artinya hanya ada satu nilai tambah di sana," terangnya.
Padahal, rantai nilai produk sawit masih panjang, dimana produk tersebut memiliki turunan-turunan produk lainnya yang nilai tambahnya lebih tinggi. Dalam hal ini, Dzulfian menyarankan agar pemerintah mencari investor yang mau memproduksi kelapa sawit.
Di era rantai pasok global, para investor dapat meletakkan kantor pusat dan pusat pengembangannya di negara berbeda. Hal inilah yang dilakukan oleh Apple. "Apple meletakkan kantor pusat yang memiliki nilai tambahnya tinggi di california, Amerika Serikat. Tapi, untuk yang nilai tambahnya rendah, seperti proses produksinya ada di China," paparnya.
(Baca Juga: Jokowi Bisa Belajar dari Era Soeharto Saat RI Hampir Bangkrut, Ekspor Melesat)
Ia menambahkan, harusnya hal tersebut bisa dilakukan oleh Indonesia. Sehingga, perdagangan tidak hanya mengandalkan komoditas saja tapi berbasis nilai tambah.
" Ekspor Indonesia itu sebagian besarnya mengandalkan berbasis komoditi, yang tidak mempunyai nilai tambah seperti batu bara," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian dalam diskusi secara virtual, Rabu (12/8/2020).
(Baca Juga: Jika Mentok di CPO Saja, Masa Depan Industri Sawit Tak Berkembang)
Ia mencontohkan, salah satu produk yang mempunyai rantai nilai tambah yang panjang adalah kelapa sawit . Selama ini, kata Dzulfian, Indonesia kurang memanfaatkan nilai tambah yang dimiliki oleh kelapa sawit.
"Perkebunan kelapa sawit untuk diambil bijinya dan kemudian diolah menjadi minyak mentah sawit, yang artinya hanya ada satu nilai tambah di sana," terangnya.
Padahal, rantai nilai produk sawit masih panjang, dimana produk tersebut memiliki turunan-turunan produk lainnya yang nilai tambahnya lebih tinggi. Dalam hal ini, Dzulfian menyarankan agar pemerintah mencari investor yang mau memproduksi kelapa sawit.
Di era rantai pasok global, para investor dapat meletakkan kantor pusat dan pusat pengembangannya di negara berbeda. Hal inilah yang dilakukan oleh Apple. "Apple meletakkan kantor pusat yang memiliki nilai tambahnya tinggi di california, Amerika Serikat. Tapi, untuk yang nilai tambahnya rendah, seperti proses produksinya ada di China," paparnya.
(Baca Juga: Jokowi Bisa Belajar dari Era Soeharto Saat RI Hampir Bangkrut, Ekspor Melesat)
Ia menambahkan, harusnya hal tersebut bisa dilakukan oleh Indonesia. Sehingga, perdagangan tidak hanya mengandalkan komoditas saja tapi berbasis nilai tambah.
(fai)