Hati-hati! Resesi Jepang Bisa Berdampak Besar ke Ekspor Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jepang saat ini resmi sedang mengalami resesi ekonomi usai melaporkan kontraksi produk domestik bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, resesi Jepang akan berdampak besar bagi Indonesia dari sisi kinerja ekspor karena salah satu mitra dagang utama.
"Jadi resesi yang ada di Jepang ini bisa berpengaruh cukup besar bagi kinerja ekspor Indonesia karena Jepang adalah negara mitra tradisional dan beberapa produk ekspor Indonesia yang mungkin terdampak yang pertama adalah batu bara," kata Bhima saat dikonfirmasi MNC Portal, Jumat (16/2/2024).
Bhima merinci, barang-barang yang terdampak seperti batu bara itu tercatat bernilai USD8,8 miliar, kemudian disusul oleh komponen elektronik yang angkanya cukup besar USD1,5 miliar dan kemudian nikel USD1,2 miliar, perhiasan USD1,2 miliar dan barang-barang kayu dan turunannya USD1 miliar, karet yang digunakan untuk otomotif USD1 miliar, perikanan ekspor ke Jepang itu USD509 juta.
"Inilah list barang-barang yang akan terdampak karena nilainya sangat besar. Di Jepang juga semakin diperburuk oleh demografi yang semakin besar non produktif atau lansia yang berpengaruh ke konsumsi domestik," ungkap Bhima.
Tetapi di sisi lain, pengaruh ini memberikan sebuah peluang karena Jepang pasti akan melihat potensi investasi di luar negerinya yaitu di Indonesia sebagai negara yang masih berkembang, prospeknya cukup bagus.
"Ini akan membuat industri Jepang mungkin bisa lebih banyak lagi melakukan relokasi pabrik-pabrik ke Indonesia atau menambah capexnya, capital expenditure atau belanja modal ke perluasan pabrik elektronik atau otomotif," kata Bhima.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah, yang pertama adalah melakukan mitigasi dengan mengalihkan produk-produk yang diekspor ke Jepang, sebagian dialihkan ke pasar alternatif.
"Tentu ini membutuhkan intelligence pasar untuk membaca peluang dan fasilitasi pertemuan dengan calon buyer atau pembeli yang potensial di negara alternatif, disinilah peran dari atase perdagangan, peran kedutaan besar menjadi penting," ujarnya.
Kemudian yang kedua, lanjut Bhima, tentunya pemerintah harus terus melakukan monitoring terutama KSSK melakukan stress test atau uji ketahanan terhadap berbagai indikator makro ekonomi dan stabilitas di sektor keuangan. Hal itu karena memang ada dampak pastinya dari sisi risiko ekonomi Jepang terhadap kawasan global dan juga terhadap domestik Indonesia terutama jalur perdagangan.
Di sisi lain juga pemerintah harus memberikan insentif yang lebih besar lagi kepada para pelaku usaha yang bekerja sama dengan investasi Jepang.
"Terutama di sektor padat karya agar ini menjadi momentum untuk relokasi industri dari Jepang ke Indonesia terutama di sektor elektronik mungkin di pengembangan mobil hybrid dan mobil listrik, industri baterai dan perangkat elektronik serta sektor IT," pungkas Bhima.
"Jadi resesi yang ada di Jepang ini bisa berpengaruh cukup besar bagi kinerja ekspor Indonesia karena Jepang adalah negara mitra tradisional dan beberapa produk ekspor Indonesia yang mungkin terdampak yang pertama adalah batu bara," kata Bhima saat dikonfirmasi MNC Portal, Jumat (16/2/2024).
Bhima merinci, barang-barang yang terdampak seperti batu bara itu tercatat bernilai USD8,8 miliar, kemudian disusul oleh komponen elektronik yang angkanya cukup besar USD1,5 miliar dan kemudian nikel USD1,2 miliar, perhiasan USD1,2 miliar dan barang-barang kayu dan turunannya USD1 miliar, karet yang digunakan untuk otomotif USD1 miliar, perikanan ekspor ke Jepang itu USD509 juta.
"Inilah list barang-barang yang akan terdampak karena nilainya sangat besar. Di Jepang juga semakin diperburuk oleh demografi yang semakin besar non produktif atau lansia yang berpengaruh ke konsumsi domestik," ungkap Bhima.
Tetapi di sisi lain, pengaruh ini memberikan sebuah peluang karena Jepang pasti akan melihat potensi investasi di luar negerinya yaitu di Indonesia sebagai negara yang masih berkembang, prospeknya cukup bagus.
"Ini akan membuat industri Jepang mungkin bisa lebih banyak lagi melakukan relokasi pabrik-pabrik ke Indonesia atau menambah capexnya, capital expenditure atau belanja modal ke perluasan pabrik elektronik atau otomotif," kata Bhima.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah, yang pertama adalah melakukan mitigasi dengan mengalihkan produk-produk yang diekspor ke Jepang, sebagian dialihkan ke pasar alternatif.
"Tentu ini membutuhkan intelligence pasar untuk membaca peluang dan fasilitasi pertemuan dengan calon buyer atau pembeli yang potensial di negara alternatif, disinilah peran dari atase perdagangan, peran kedutaan besar menjadi penting," ujarnya.
Kemudian yang kedua, lanjut Bhima, tentunya pemerintah harus terus melakukan monitoring terutama KSSK melakukan stress test atau uji ketahanan terhadap berbagai indikator makro ekonomi dan stabilitas di sektor keuangan. Hal itu karena memang ada dampak pastinya dari sisi risiko ekonomi Jepang terhadap kawasan global dan juga terhadap domestik Indonesia terutama jalur perdagangan.
Di sisi lain juga pemerintah harus memberikan insentif yang lebih besar lagi kepada para pelaku usaha yang bekerja sama dengan investasi Jepang.
"Terutama di sektor padat karya agar ini menjadi momentum untuk relokasi industri dari Jepang ke Indonesia terutama di sektor elektronik mungkin di pengembangan mobil hybrid dan mobil listrik, industri baterai dan perangkat elektronik serta sektor IT," pungkas Bhima.
(akr)