Petani Harapkan Dukungan Kebijakan Pemerintah Menjaga Harga TBS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Petani sawit swadaya berharap dukungan kebijakan pemerintah dalam melindungi stabilitas harga tandan buah segar (TBS). Seperti diketahui, selama ini belum ada kebijakan yang tepat dalam mengatasi persoalan harga TBS.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP APKASINDO), Gulat ME Manurung menyampaikan pemerintah harus memperhatikan petani sawit. Selain garda terdepan di industri sawit nasional, petani sawit juga ikut menyukseskan program pemerintah. Partisipasi aktif 17 juta petani sawit misalnya telah berkontribusi mensukseskan pemilihan umum dan program pemerintah lainnya patut diberikan apresiasi.
Berdasarkan catatan APKASINDO, dari tahun 2015-2023 diketahui rerata harga CPO Internasional Rotterdam dan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) setiap tahunnya menunjukkan dinamika yang tidak konsisten.
"Inkonsistensi ini bermula dari Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia," ujar Gulat dalam konferensi pers refleksi perjalanan petani sawit.
Seperti tampak pada dinamika harga CPO tahun 2015 sampai tahun 2019 yang berkisar antara 3-11%, yang artinya pada kurun waktu 2015-2019 tidak terjadi kenaikan yang cukup berarti. Bahkan pada 2017-2019 terjadi penurunan rata-rata harga CPO sebesar 7,04%.
Akibat dari penurunan harga pada periode 2017-2019 ini praktis membuat harga TBS stagnan selama tiga tahun, rerata di harga Rp1.650/kg TBS.
“Dengan perbandingan harga Periode 2017-2019 dengan periode 2015-2016 diketahui rata-rata harga TBS petani justru lebih tinggi yaitu Rp1.6.75/kg,” kata Gulat.
Fenomena lain yang menarik disimak yaitu harga CPO periode 2020 dibandingkan 2019 terjadi kenaikan harga CPO (Rotterdam) sebesar 21,21% dan kenaikan ini lebih tajam lagi tahun 2021 dibandingkan 2020 sebesar 59,54% dan periode 2022 kembali naik dibandingkan periode 2021, meskipun hanya 14,83%.
Rerata Harga TBS Periode 2020-2023 adalah sebesar Rp2.175, di mana puncak harga TBS tertinggi terjadi pad aperiode 2022 sebesar rerata Rp.2.450/kg (Harga CPO Rotterdam Rp19.780).
Gulat mengatakan harga CPO Rotterdam dengan harga CPO KPBN cenderung memiliki seirama meskipun terlihat terjadi perbedaan harga yang signifikan antara harga CPO Rotterdam dengan KPBN yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti beban bea keluar dan pungutan ekspor (levy) yang cenderung menekan harga CPO KPBN.
Selain itu kelas dari KPBN yang sifatnya tender tentu akan mengakibatkan semakin tertekannya harga CPO KPBN dibandingkan dengan kelas bursa internasional Rotterdam.
Menurutnya, catatan penting dari perjalanan harga CPO (2015-2023) adalah kenaikan harga CPO dari 2015 ke 2023 tidak menunjukkan kenaikan harga yang signifikan yaitu hanya 42,04% sedangkan kenaikan harga TBS dari tahun 2015-2023 hanya 27,27%.
Bagaimana dengan harga CPO di tahun 2023? Ternyata harga CPO Rotterdam malah turun sebesar 25,98% dan harga CPO KPBN turun sebesar 12,09% dibandingkan rerata harga CPO selama 2022.
Akibat dari penurunan harga CPO selama periode 2023 ini harga TBS juga terdampak, dimana terjadi penurunan harga TBS selama tahun 2023 sebesar 10,20% dibandingkan rerata harga TBS periode 2022.
Menggeliatnya harga CPO di awal 2020 sampai dengan 2022 tidak terlepas dari kebijakan mandatori Biodisel B30. Imbasnya, harga CPO terdongkrak tajam selama 2020-2022. Strategi ini berhasil menjaga keseimbangan CPO domestik dengan global. Selain itu, hal ini berhubungan erat dengan kenaikan harga TBS Petani pada periode tersebut.
Cenderung naiknya harga CPO sejak mandatori B30, telah berdampak ke ketersediaan minyak goreng domestik, terutama sejak awal 2023.
Kelangkaan minyak goreng ini telah mengakibatkan pemerintah terpaksa mengambil kebijakan pelarangan ekspor CPO tanggal 28 April 2022, yang langsung mengakibatkan ambruknya harga CPO domestik (sempat menyentuh Rp9000) di saat bersamaan harga CPO dunia melonjak tajam akibat larangan ekspor tersebut.
Setelah APKASINDO melakukan aksi keprihatinan pada tanggal 17 Mei 2022 guna menggugah hati Presiden Joko Widodo, di mana dua hari setelah aksi, tepatnya tanggal 19 Mei, Presiden resmi mencabut kebijakan pelarangan ekspor dengan dasar pertimbangan atas nasib 17 juta petani dan pekerja sawit. Namun pasca pencabutan larangan eksport tersebut harga CPO tidak kunjung bergeliat naik bahkan cenderung stagnan.
Untuk mendongkrak harga CPO, dikatakan Gulat, pemerintah kembali meningkatkan serapan CPO domestik dengan menaikkan mandatori B30 menjadi mandatori B35 per awal Agustus 2023, namun upaya ini tidak banyak menolong mendokrak harga CPO domestik dan dampaknya sampai dengan akhir tahun 2023 masih berbekas.
"Walaupun rendahnya harga CPO domestik pasca larangan ekspor juga dipengaruhi faktor-faktor lain tentunya," jelas Gulat.
Pihaknya berpandangan terdapat sejumlah strategi kondisi ekonomi, sosial sawit dan lingkungan selama 2015-2023 tadi tak lagi terjadi. "Perlu dilakukan langkah-langkah afirmasi di tahun 2024 ini dengan beberapa poin strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah dan stakeholders sawit lainnya," ujar dia.
Dari sisi pemerintah, dibutuhkan konsistensi regulasi terkait hulu-hilir sawit, segera menerbitkan regulasi dukungan pendirian PKS Petani sawit, percepatan pendirian Pabrik Mini Minyak Goreng (Pamigo). Selain juga penuntasan klaim kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap perkebunan sawit rakyat dengan pendekatan histori kebun sawit yang berpatokan ke UU Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dan UU Cipta Kerja, penuntasan revisi Permentan 01 tahun 2019 dengan mengadopsi usulan tiga organisasi petani sawit, yakni APKASINDO, SAMADE dan ASPEKPIR.
Poin penting dari revisi tersebut adalah melindungi petani sawit swadaya, serta merevisi regulasi ISPO dengan konsep ISPO Relatif. Terakhir, APKASINDO meminta langkah strategis dari sisi K/L adalah koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk lebih dekat mengenal hulu-hilir sawit.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP APKASINDO), Gulat ME Manurung menyampaikan pemerintah harus memperhatikan petani sawit. Selain garda terdepan di industri sawit nasional, petani sawit juga ikut menyukseskan program pemerintah. Partisipasi aktif 17 juta petani sawit misalnya telah berkontribusi mensukseskan pemilihan umum dan program pemerintah lainnya patut diberikan apresiasi.
Berdasarkan catatan APKASINDO, dari tahun 2015-2023 diketahui rerata harga CPO Internasional Rotterdam dan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) setiap tahunnya menunjukkan dinamika yang tidak konsisten.
"Inkonsistensi ini bermula dari Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia," ujar Gulat dalam konferensi pers refleksi perjalanan petani sawit.
Seperti tampak pada dinamika harga CPO tahun 2015 sampai tahun 2019 yang berkisar antara 3-11%, yang artinya pada kurun waktu 2015-2019 tidak terjadi kenaikan yang cukup berarti. Bahkan pada 2017-2019 terjadi penurunan rata-rata harga CPO sebesar 7,04%.
Akibat dari penurunan harga pada periode 2017-2019 ini praktis membuat harga TBS stagnan selama tiga tahun, rerata di harga Rp1.650/kg TBS.
“Dengan perbandingan harga Periode 2017-2019 dengan periode 2015-2016 diketahui rata-rata harga TBS petani justru lebih tinggi yaitu Rp1.6.75/kg,” kata Gulat.
Fenomena lain yang menarik disimak yaitu harga CPO periode 2020 dibandingkan 2019 terjadi kenaikan harga CPO (Rotterdam) sebesar 21,21% dan kenaikan ini lebih tajam lagi tahun 2021 dibandingkan 2020 sebesar 59,54% dan periode 2022 kembali naik dibandingkan periode 2021, meskipun hanya 14,83%.
Rerata Harga TBS Periode 2020-2023 adalah sebesar Rp2.175, di mana puncak harga TBS tertinggi terjadi pad aperiode 2022 sebesar rerata Rp.2.450/kg (Harga CPO Rotterdam Rp19.780).
Gulat mengatakan harga CPO Rotterdam dengan harga CPO KPBN cenderung memiliki seirama meskipun terlihat terjadi perbedaan harga yang signifikan antara harga CPO Rotterdam dengan KPBN yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti beban bea keluar dan pungutan ekspor (levy) yang cenderung menekan harga CPO KPBN.
Selain itu kelas dari KPBN yang sifatnya tender tentu akan mengakibatkan semakin tertekannya harga CPO KPBN dibandingkan dengan kelas bursa internasional Rotterdam.
Menurutnya, catatan penting dari perjalanan harga CPO (2015-2023) adalah kenaikan harga CPO dari 2015 ke 2023 tidak menunjukkan kenaikan harga yang signifikan yaitu hanya 42,04% sedangkan kenaikan harga TBS dari tahun 2015-2023 hanya 27,27%.
Bagaimana dengan harga CPO di tahun 2023? Ternyata harga CPO Rotterdam malah turun sebesar 25,98% dan harga CPO KPBN turun sebesar 12,09% dibandingkan rerata harga CPO selama 2022.
Akibat dari penurunan harga CPO selama periode 2023 ini harga TBS juga terdampak, dimana terjadi penurunan harga TBS selama tahun 2023 sebesar 10,20% dibandingkan rerata harga TBS periode 2022.
Menggeliatnya harga CPO di awal 2020 sampai dengan 2022 tidak terlepas dari kebijakan mandatori Biodisel B30. Imbasnya, harga CPO terdongkrak tajam selama 2020-2022. Strategi ini berhasil menjaga keseimbangan CPO domestik dengan global. Selain itu, hal ini berhubungan erat dengan kenaikan harga TBS Petani pada periode tersebut.
Cenderung naiknya harga CPO sejak mandatori B30, telah berdampak ke ketersediaan minyak goreng domestik, terutama sejak awal 2023.
Kelangkaan minyak goreng ini telah mengakibatkan pemerintah terpaksa mengambil kebijakan pelarangan ekspor CPO tanggal 28 April 2022, yang langsung mengakibatkan ambruknya harga CPO domestik (sempat menyentuh Rp9000) di saat bersamaan harga CPO dunia melonjak tajam akibat larangan ekspor tersebut.
Setelah APKASINDO melakukan aksi keprihatinan pada tanggal 17 Mei 2022 guna menggugah hati Presiden Joko Widodo, di mana dua hari setelah aksi, tepatnya tanggal 19 Mei, Presiden resmi mencabut kebijakan pelarangan ekspor dengan dasar pertimbangan atas nasib 17 juta petani dan pekerja sawit. Namun pasca pencabutan larangan eksport tersebut harga CPO tidak kunjung bergeliat naik bahkan cenderung stagnan.
Untuk mendongkrak harga CPO, dikatakan Gulat, pemerintah kembali meningkatkan serapan CPO domestik dengan menaikkan mandatori B30 menjadi mandatori B35 per awal Agustus 2023, namun upaya ini tidak banyak menolong mendokrak harga CPO domestik dan dampaknya sampai dengan akhir tahun 2023 masih berbekas.
"Walaupun rendahnya harga CPO domestik pasca larangan ekspor juga dipengaruhi faktor-faktor lain tentunya," jelas Gulat.
Pihaknya berpandangan terdapat sejumlah strategi kondisi ekonomi, sosial sawit dan lingkungan selama 2015-2023 tadi tak lagi terjadi. "Perlu dilakukan langkah-langkah afirmasi di tahun 2024 ini dengan beberapa poin strategis yang harus dilakukan oleh pemerintah dan stakeholders sawit lainnya," ujar dia.
Dari sisi pemerintah, dibutuhkan konsistensi regulasi terkait hulu-hilir sawit, segera menerbitkan regulasi dukungan pendirian PKS Petani sawit, percepatan pendirian Pabrik Mini Minyak Goreng (Pamigo). Selain juga penuntasan klaim kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap perkebunan sawit rakyat dengan pendekatan histori kebun sawit yang berpatokan ke UU Pokok Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 dan UU Cipta Kerja, penuntasan revisi Permentan 01 tahun 2019 dengan mengadopsi usulan tiga organisasi petani sawit, yakni APKASINDO, SAMADE dan ASPEKPIR.
Poin penting dari revisi tersebut adalah melindungi petani sawit swadaya, serta merevisi regulasi ISPO dengan konsep ISPO Relatif. Terakhir, APKASINDO meminta langkah strategis dari sisi K/L adalah koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk lebih dekat mengenal hulu-hilir sawit.
(nng)