Tumpang Tindih Aturan, Industri Hasil Tembakau Butuh Kejelasan Roadmap

Minggu, 16 Agustus 2020 - 13:13 WIB
loading...
Tumpang Tindih Aturan,...
Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pemerintah berencana menyesuaikan kembali tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2021. Penyesuaian ini dilakukan seiring target penerimaan cukai pada tahun depan sebesar Rp178,47 triliun.

Merujuk buku Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2021, target penerimaan cukai tahun 2021 meningkat 3,6% dibandingkan outlook tahun anggaran 2020. Pada RAPBN tahun 2021, penerimaan cukai ditargetkan sebesar Rp178,47 triliun.

Target penerimaan cukai di 2021, terdiri atas cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp172,75 triliun, sisanya ditargetkan pada pendapatan cukai MMEA, cukai EA, dan penerimaan cukai lainnya sebesar Rp5,71 triliun.

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan bahwa industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu industri strategis nasional yang mempunyai andil besar dalam perekonomian Indonesia. (Baca juga: Sambut HUT RI, Industri Logam Ekspor 2.000 Ton Baja Aluminium ke 3 Negara )

Menurut dia, di tengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia, tak terkecuali Indonesia, pastinya IHT juga berdampak secara ekonomi dan dampak lainnya. Kendati demikian, pemerintah masih menggantungkan IHT sebagai industri penopang penerimaan negara sampai saat ini.

“Penerimaan cukai merupakan kontributor ketiga terbesar dalam penerimaan dalam negeri, dimana 95% berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT),” kata Misbakhun dalam seminar webinar bertajuk ‘Kepastian Hukum Industri Hasil Tembakau sebagai Industri Strategis’ di Jakarta, Minggu (16/8/2020).

Legislator Partai Golkar itu menambahkan, IHT memiliki rantai bisnis industri yang luas sehingga menciptakan efek pengganda yang besar. Antara lain, terbukanya lapangan kerja baru, baik langsung maupun tidak langsung, utamanya pekerja pada IHT Sigaret Kretek Tangan (SKT).

“Kretek sebagai produk khas IHT Indonesia memiliki daya tawar yang tinggi di pasar lokal maupun internasional (ekspor). Kretek memiliki ciri khas dan keunikan dibanding produk IHT negara lain,” imbuh Misbakhun.

Sebagai industri strategis, IHT termasuk industri yang memenuhi persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi. IHT menggunakan bahan baku mayoritas di dalam negeri (cengkeh dan tembakau). “Artinya, IHT juga memiliki potensi yang besar menarik dan mengembangkan sektor hulu (pertanian),” kata dia.

Dosen Hukum Bisnis Universitas Jember, Fendi Setyawan berpendapat, di tengah strategisnya peran IHT tersebut, di sisi lain IHT selalu dihadapkan pada polemik yang berkepanjangan.

Besarnya potensi kontribusi cukai hasil tembakau menyebabkan kebijakan cukai semakin eksesif. Hal itu terlihat CHT justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan, daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok. (Baca juga: Harga Rokok Naik Apa Enggak Tahun Depan?, Ini Kata Sri Mulyani )

“Desain kebijakan cukai hampir setiap tahun berubah lewat instrumen Peraturan Menteri Keuangan (PMK), berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan IHT. Hal ini berdampak pada penurunan tenaga kerja di industri dari hulu hingga ke hilir. Belum lagi dampak juga akan terasa pada perekonomian daerah yang mengandalkan perkebunan tembakau dan industrinya,” katanya.

Fendi mengatakan, setidaknya lebih dari 300 regulasi di berbagai tingkatan dan dikeluarkan oleh berbagai instansi pemerintahan untuk mengatur industri hasil tembakau. Peraturan satu dan lainnya pada faktanya saling tumpah tindih, bahkan overlaping.

“Karena itu, harmonisasi dan kepastian regulasi penting untuk kelangsungan industri hasil tembakau dan memberikan arah yang lebih jelas bagi seluruh stakeholders industri hasil tembakau,” tegas Fendi.

Kuatnya desakan aktivis anti tembakau dan internasional terhadap permasalahan kesehatan yang ditimbulkan produk IHT. Bahkan, mereka mendesak Indonesia untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya, prevelansi masyarakat untuk merokok tetap tinggi.

Menurut Fendi, dengan eksesifnya kenaikan tarif cukai justru membuka peluang rokok ilegal semakin merebak, upaya pengendalian konsumsi justru tidak tercapai. Karenanya, hal terpenting adalah instrumen cukai IHT harus efektif mengendalikan konsumsi rokok.

Karena itu, diperlukan arah yang jelas masa depan IHT untuk meminimalisir kegaduhan polemik industri hasil tembakau (IHT) dengan merumuskan strategi pengembangan IHT yang tepat. (Baca juga: Polemik Status Justice Collaborator Nazaruddin hingga Akhirnya Bebas )

Fendi mendesak agar pemerintah merumuskan strategi kebijakan penyusunan peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau dan rencana strategis pertembakauan nasional yang berbasis kesejahteraan petani dan pasar global, baik sebagai potensi pariwisata warisan budaya, maupun diversifikasi produk hasil tembakau non rokok.

“Roadmap IHT harus komprehensif dengan mengedepankan kedaulatan dan kemandirian bangsa, agar mengharmonisasikan semua pemangku kepentingan. Sehingga, menjadi acuan bersama agar dipatuhi semua pihak demi menjaga kelangsungan IHT,” terang Fendi.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Supriadi mengatakan industri hasil tembakau masih dilihat secara parsial, dari perspektif kesehatan semata.

Padahal, IHT berkontribusi sangat besar bagi Negara dan memberikan dampak luas baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya terhadap pembangunan bangsa.

“Karenanya, kerangka yang digunakan untuk mengatur industri hasil tembakau (IHT) tidak semata-mata pendekatan kesehatan masyarakat, namun pendekatan industri,” kata Supriadi.

Terdapat ratusan regulasi/kebijakan yang berpotensi mematikan kelangsungan IHT sebagai industri strategis nasional. Supriadi khawatir serangkaian kebijakan yang bersifat mengendalikan serta dampak pandemi Covid-19 akan berpengaruh terhadap produksi IHT yang berujung pada terganggunya penerimaan negara. (Baca juga: Direksi Meninggal Akibat Covid-19, PT Indonesia Power Terapkan Protokol Kesehatan )

Oleh karena itu, Supriadi menekankan pentingnya penyusunan Roadmap IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian.

“Aspek kesehatan dan sosial ekonomi harusnya berdampingan, bukan saling mematikan karena sektor kesehatan masih memerlukan subsidi yang bisa dipenuhi dari kontribusi IHT terhadap penerimaan negara," tukas Supriadi.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1218 seconds (0.1#10.140)