Analis Minyak: Trump Menipu Saudi Sehingga Harga Minyak Jatuh

Kamis, 15 November 2018 - 21:45 WIB
Analis Minyak: Trump...
Analis Minyak: Trump Menipu Saudi Sehingga Harga Minyak Jatuh
A A A
WASHINGTON - Pertengahan tahun ini, Arab Saudi menganulir kebijakannya sendiri dengan menaikkan produksi minyak. Sehingga pasar minyak menjadi kelebihan pasokan. Padahal, sejak awal 2017, Saudi gencar mengajak dua lusin anggota OPEC dan Rusia untuk memangkas produksi minyak demi mendongkrak harga si emas hitam.

Saudi melakukan kebijakan yang tidak populis di mata OPEC, demi membantu sekutunya di Gedung Putih. Saudi menuruti keinginan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menggenjot produksi sehingga pasar minyak menjadi berlimpah. Hasilnya harga minyak kembali mundur dan mendekati level penurunan terbesar dalam sejarah seperti tahun 2014.

Melansir dari CNBC, Kamis (15/11/2018), para analis pasar minyak menyebut Trump telah menipu Arab Saudi, membodohi sekutunya untuk mendorong pasar minyak jadi kelebihan pasokan. Dan harga minyak mentah pun jatuh 25% sejak Oktober 2018.

Saudi dianggap memenuhi tujuan Trump menurunkan biaya energi demi kepentingan orang Amerika. Sementara, Saudi dan beberapa negara OPEC lainnya sangat menggantungkan ekonominya dari minyak. Dengan turunnya harga minyak berpotensi menyusutkan pendapatan negara-negara tersebut.

Para analis menambahkan, Trump memakai isu Iran sebagai senjata agar Saudi mau menggenjot produksi. Trump melakukan "barter" dengan menerapkan sanksi terhadap Iran, sehingga pasar minyak dikabarkan akan menyusut akibat kekosongan dari ekspor minyak Negeri Mullah. Untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Iran, maka Saudi pun akhirnya meningkatkan produksi secara besar-besaran.

Alih-alih menerapkan sanksi menyeluruh terhadap ekspor minyak Iran pada 4 November lalu, Trump justru memberi kelonggaran kepada Iran, dengan boleh menjual kepada 8 negara importir minyak. Mereka antara lain Jepang, Korea Selatan dan India yang diizinkan membeli minyak dari Iran.

"Mereka (Saudi) mendapat semacam tipuan di sini," kata John Kilduff, founding partner di hedge fund Energy Again Capital. Kilduff menambahkan saat AS mengancam memberikan sanksi berat terhadap Iran di satu sisi, di sisi lainnya AS meminta Saudi dan Rusia untuk meningkatkan produksi. Dan ternyata AS memberikan keringanan kepada Iran dengan boleh menjual minyaknya kepada delapan negara. Sehingga pasar minyak pun kelebihan pasokan dan hasilnya harga minyak menjadi jatuh.

"Jadi sekarang harga minyak jatuh karena kelebihan pasokan. Arab Saudi dan Rusia melakukan reaksi berlebihan untuk menutupi kekosongan Iran yang sebenarnya tidak pernah terwujud".

Pemerintah Trump dan retorika hawkish-nya terus menggulirkan kabar bahwa sanksi ekspor minyak Iran akan membuat pasar minyak menjadi ketat. Ditambah dengan kekhawatiran bahwa harga minyak akan melambung tinggi. Kecemasan ini membuat Saudi dan Rusia terus memicu produksi.

"Pada awal Oktober banyak kabar bahwa sanksi minyak Iran akan membuat pasar menjadi ketat. Dan Arab Saudi lantas menjawabnya dengan meningkatkan produksi. Tapi yang terjadi adalah kelebihan pasokan membuat harga menjadi jatuh," kata Matt Smith, kepala penelitian komoditas energi di ClipperData.

"Trump telah berhasil menurunkan harga minyak. Sementara Saudi dan kebanyakan negara OPEC banyak menggantungkan ekonominya dari minyak. Kalau jadi saya, saya tidak senang dengan apa yang telah dilakukan tersebut," tambah Matt Smith.

Soal pasar minyak yang saat ini kelebihan pasokan membuat Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih angkat bicara. Ia menyebut pada pekan ini ekspor minyak Iran tidak turun seperti yang dikabarkan.

Karena itu, Khalid mengumumkan Arab Saudi akan memangkas pasokan minyak sebesar 500 ribu barel per hari pada Desember mendatang. Dan meminta OPEC serta sekutunya untuk mengurangi produksi sebesar 1 juta barel per hari pada tahun depan.

Terkait seruan Khalid al-Falih, OPEC dan Rusia akan melakukan pertemuan pada Desember mendatang, apakah akan melanjutkan kebijakan tahun 2017 atau tidak. Kebijakan tahun lalu yakni mengurangi produksi demi meningkatkan harga minyak.

Menanggapi seruan Khalid al-Falih, Trump menulis di media sosialnya, "Mudah-mudahan Arab Saudi dan OPEC tidak akan memotong produksi minyak. Karena harga minyak harus lebih rendah berdasarkan pasokan!"

Cuitan Trump di twitter, kata Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets, membuat pasar menjadi "kecut". Harga minyak pun melanjutkan pelemahan akibat tekanan Trump.

Dan menurut Helima, Trump masih memiliki "satu senjata" lagi, yaitu soal kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi di Konsulat Turki pada Oktober lalu. Pihak Kerajaan berada di posisi genting setelah jaksa Saudi mengakui bahwa agen pemerintah lah yang membunuh Khashoggi. Sebelumnya Saudi selalu menampik keterlibatan Kerajaan dalam pembunuhan tersebut.

Sementara itu, CEO Black Gold Investors, Gary Ross, menilai bahwa kartel minyak OPEC akan setuju untuk memotong produksi jika mendapat dukungan dari Rusia dan produsen non-OPEC lainnya pada Desember mendatang. "Meski sedikit terlambat karena telah kelebihan pasokan. Saya rasa mereka cukup banyak tertipu oleh Trump," kata Ross.

Selama ini, kata Ross, Trump meyakinkan Saudi dan OPEC untuk percaya bahwa sanksi akan membuat ekspor minyak Iran menjadi nol. Ternyata yang terjadi, ekspor minyak Iran bertambah menjadi 1,2 juta hingga 1,5 juta barel per hari, lebih tinggi daripada perkiraan.

Namun, kata Ross lagi, untuk mengembalikan harga minyak Brent International menjadi USD80 per barel tidak bisa dilakukan secara cepat. Karena saat ini pasar sedang benar-benar kelebihan pasokan. "Saya pikir harga Brent akan berada di kisaran USD60 hingga USD70 per barel hingga akhir tahun". Terkait tudingan para analis minyak bahwa Trump telah menipu Saudi sehingga harga minyak jatuh, Gedung Putih menolak berkomentar.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1010 seconds (0.1#10.140)